Jumat, 05:49 WITA
Da turun ke kota bersama pak Kans
kemaren sore dalam rangka menghadiri pernikahan salah seorang guru smp di kota.
Malamnya da susah tidur, terbangun setiap satu jam menjelang subuh. Pagi ini da
melanjutkan novel tere liye serial anak anak mamak “PUKAT” yang da beli di
pasar ende. Bab 8 berjudul perpisahan membuat da harus mengalah pada gravitasi
yang cukup besar. Airmata ini mengalir dengan sendirinya mencoba merangkai asa
da untuk menginjak daun daun maple yang sedang berguguran suatu saat nanti.
Novel ini sungguh menginspirasi da yang insyaallah mengantarkan da ke benua
putih itu entah beberapa tahun lagi. Dengan sabar da menunggu janji yang Allah
gariskan untuk da. Semoga yang terbaik.
Da dijemput oleh pak kans jam
setengah 8 menuju pesta ibu Tin yang berlangsung di rumahnya di dekat Barata. Ketika
kami datang lampu sedang padam, sesaat seolah da terjebak di tempat antah
berantah, kemdian genset mulai menyala, dan kami para guru yang datang sudah
berkumpul sebelumnya di luar gang mulai bersalaman bersama pengantin.
Pengantinnya terlihat aneh dan tua bagi da, ternyata mereka sudah mempunyai
anak sebelumnya dan sudah berumur 4 tahun. Adat disini terutama yang beragama
katolik sudah biasa tinggal bersama walau belum menikah. Hal ini terkendala
sistem adat berupa “belis” yang sangat mahal. Biasanya belis tersebut berupa
hewan ternak seperti babi dan kerbau. Se ekor babi saja bisa mencapai jutaan
harganya dan menjadi hewan ternak termahal. Maka banyak dari warga yang belum
mampu untuk mengadakan pemberkatan pernikahan, tinggal serumah terlebih dahulu,
bekerja dan mengumpulkan uang untuk pemberkatan menikah mereka di gereja.
Awalnya da ragu untu makan,
setelah MC acara mengatakan makanan tersebut halal 100% baru lah da sedikit
lega. Terlihat ada juga mama mama yang berjilbab menghadiri pesta. Kerukunan
umat beragama yang cukup tinggi terbukti dengan hidup damai saling berdampingan
di bumi tempat pancasila dikandung katanya. Sebelum makan di buka dengan doa
agama katolik dan da hanya terdiam melihat mereka menggerakan tangnnya
disekitar dada.
Acara dilanjutkan dengan musik
dan tarian. Dibuka dengan sesorang yang menari dengan selendang khas tenun
ende. Setelah dia menari beberapa saat kemudian meletakan selendang ke para
tamu undangan yang datang. Tamu yang mendapatkan selendang tersebut harus maju
ke depan sendirian dan mulai menari dengan gaya yang diinginkan masing-masing
pribadi. Begitu selanjutnya bergiliran orang demi orang hingga kedapatan kepala
sekolah da yang duduk di depan. Beliau pun mulai berjoget ala- ala masyarakat
flores yang membuat tawa para guru yang lainnya berderai. Setelah ini masih
berlanjut dengan tarian ‘gawi’. Semua hadirin yang duduk mulai berdiri ke depan
dan membentuk lingkaran demi lingkaran seperti obat nyamuk, saling bergandengan
satu sama lain serta mulai benari bersama. Hentakan kaki yang seirama dengan
iringan musik yang khas membuat susasana terasa mengasyikan bagi mereka.
Acara joget ini bisa mereka
lakukan sampai subuh tanpa henti dan tanpa rasa lelah.melihat mama mama yang
muslim mulai bergerak pulang, da pun mengikuti mereka. Setelah pamit sama pak
kans, da berjalan kaki pulang ke perumnas yang jaraknya tak seberapa. Mencoba
menghindari hirup pikuk yang da benci selama ini bahkan di kampung halaman
sendiri. Da benci acara acara dengan musik yang menghentak memekakan telinga.
Berjalan sendirian ketika jam menunjukan pukul setengah sebelas malam cukup
menciutkan sedikit hati da. Alhamdulillah da sampai di rumah dengan selamat dan
masih terjaga dari halalnya apa yang da makan dan da minum.