Tampilkan postingan dengan label manggarai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manggarai. Tampilkan semua postingan

15 Desember 2015

Published Desember 15, 2015 by with 2 comments

Mendadak Liburan exlusif Labuan Bajo




Jumat 3 april

Hari ini pun da dan beberapa orang teman yang masih di basecamp kembali di tinggal oleh rombongan Sleeping Genk atau boleh di bilang partai senior. Mereka akan menyusul rombongan sepeda motor kemaren yang sudah sampai di tempat tujuan. Dan da hanya tinggal sekitar sepuluh orang di basecamp melarikan diri ke tempat tongkrongan kami di Hero swalayan untuk sekedar menikmati es krim sembari melihat acara umat kristiani yang akan menggelar “jalan paskah”. Layaknya sebuah parade mempertontonkan yesus sedang mengalami penyiksaan dan di meriahkan oleh para siswa siswa sekolah menengah sepertinya. Mereka mengunakan kostum berbau vatikan atau romawi kali ya. Entahlah,, yang jelas terlihat keren dan berbeda kostumnya. Tuti pun merekam longmarch yang mereka buat di sepanjang jalan utama kota ende. 

Kami yang tersisa di basecamp akhirnya merencankan liburan ke ibukota propinsi. Pak an menemani da mencari kapal ke pelabuhan IPI jikalau ada kapal dari kota kupang yang merapat di ende. Setelah bertanya di sepanjang pelabuhan kami pun kembali ke rumah. Setelah berbincang cukup lama akhirnya jatuhlah topik pembicaraan tentang perjalanan dengan pesawat terbang. Ayah angkat kami di ende menelpon kenalannya, beliau menanyakan harga tiket ke kota kupang yang berkisar sekitar 400rb kemudian ada yang bertanya ,, kalo ke Labuan bajo pak ? ,, bapak kembali bertanya dan mengatakan bahwa tiketnya lebih murah yaitu 375ribu. Teriakan yang bersorai dari 11 orang yang tinggal langsung menandakan persetujuan semua pihak dan langsung saat itu memesan tiket ke Labuan bajo. Padahal tidak ada rencana sama sekali bakalaan mengunjungi Labuan bajo lebih awal dari perbincangan semula. Sejurus kemudian masing masing sudah sibuk menyusun perlengkapan perjalanan beberapa hari ini.

Sabtu, 4 april

Seperti biasanya subuh bersama di basecamp sudah mengantri untuk mendapatkan kamar mandi terlebih dahulu. Anak anak terlihat excited  karena akan naik pesawat terbang lagi terlebih dengan uang sendiri. Ibu juga antusias mengingatkan kami akan barang barang bawaan masing masing. Kami pun segera berjalan kaki menuju bandara yang berjarak tak seberapa bahkan harus menggeleng beberapa kali kepada Sopir sopir angkot yang mulai berhenti menawarkan kami untuk di antar ke tujuan. Tak perlu menunggu lama kami segera check in dan sibuk memfoto tiket masing masing di ruang tunggu penerbangan. Kami saling mengupload dan like status masing masing baik di fb maupun instgram serta tak lupa mengganti tampilan BBM sebagai aksi pamer tentunya. Hahah,, sedikit menyombongkan diri boleh lah ya,,,

Suasana pagi yang dingin ditambah ac ruangan yang membeku tidak mengalahkan semangat kami yang ingin segera terbang. Pesawat lion yang kami tumpangi sudah mendarat di landasan bandara dan kami pun segera berjalan memasuki pesawat setelah pemberitahuan dari  suara suara speaker yang merambat di udara. Alhamdulillah da dapat di tepi jendela kali ini dan memulai penerbangan ini dengan bismillah. Cuaca pagi ini pun mendukung perjalanan kami. Hamparan laut langsung menyambut pemandangan penerbangan kali ini. Kawah gunung ia yang masih aktif mengeluarkan asap terlihat memukau dari udara. Gradasi warna laut menambah keindahan perjalanan menuju bandara komodo di Labuan baju kabupaten manggarai menuju ujung barat pulau flores.
45 menit pun berlalu dengan singkatnya  dan menyadarkan kami untuk segera turun dan memulai liburan yang semoga penuh dengan petualangan menarik. Bandara komodo lebih terlihat keren daripada bandara h. hasan aboeroesman yang di ende dari segi arsitektur bangunannya yang lebih modern. Bang ade dan bang marta  sudah menyambut kami di luar bandara dan siap mengantar kami ke kerabat minang yang ada di kabupaten ini. Oh ya, setelah dihubungi pak an semalam, akhirnya sleeping genk berbelok arah dari riung dan memutuskan berlibur bersama kami mengunjungi salah satu keajaiban dunia yakni pulau komodo. Dan da tak tahu entah apa yang ada di benak teman teman yang sedang menikmati indahnya taman bawah laut riung yang mungkin juga berkesan dihati mereka masing masing.


Sleeping genk sudah memesan tiket kapal yang akan membawa kami menyebrang menuju pulau komodo. Kami menyewa kapal seharga 3,5 juta untuk 17 orang sehingga masing masing membayar sekitar 200 ribuan. Kapal yang kami tumpangi bertingkat dua dan tanpa ada perbincangan dengan sendirinya sudah memutuskan bahwa sleeping geng menempati lantai satu dan yang sisanya bergerak naik ke lantai dua.  Lantai dua dengan peneduh yang berukuran sekitar 2x3 tidak mengurangi rasa bahagia kami saat itu. Laut biru yang luas serta terpaan angin yang berhembus menambah semangat kami untuk segera melihat makhluk yang masih berkekerabataan dengan hewan purba dinosaurus tersebut. tetapi kami tentunya tidak membatasi satu sama lain untuk menikmati perjalanan dari lantai satu atau dari sisi yang diinginkan masing masing pihak.

Moment yang pasti tidak ketinggalan adalah berebut berfoto di atas kapal dengan view yang menawan mata. Hingga kami harus antri satu persatu untuk bisa mengabadikan moment bersejarah ini. Perjalanan yang membutuh kan waktu sekitar 4 jam terasa sangat singkat dengan waktu kami yang ke asyikan berfoto. Sempat sesaat hujan dan itu pun kami memaksakan diri berkerumun bersama di penuduh yang berukuran sekitar 2x2 meter. Hujan yang hanya gerimis sesaat  memaksa kami melanjutkan aksi untuk foto foto selama perjalanan. Ketika sleeping genk memutuskan untuk makan siang, kami pun mulai berhenti dan makan bersama dengan nasi yang sudah di bungkus oleh keluarga minang tadi yang mana mereka juga membuka rumah makan padang. Jadi selera makan masih menyala nyala karena taste nya tentu nyaman di lidah kami.

Ketika sandaran  untuk merapat mulai terlihat dari kejauhan kami sudah berdiri di ujung kapal semuanya. Berdiri menyongsong pulau yang bahkan lebih dulu banyak dikunjungi oleh turis mancanegara. Saat ada pusaran air yang ditandai dengan bendera merah kami kembali duduk ketakutan bahkan sembari menyalahkan pinta yang berbadan seukuran komodo untuk duduk pada posisi yang tepat karena saking parnonya. Maklum lah, banyak dari kami yang tak bisa berenang dengan baik sehingga kapal oleng sedikit saja sudah berteriak menyebut nama pinta. Hha,,

Kapal akan segera merapat ke pelabuhan dengan melakukan beberapa putaran. Saat itu ayu yang penempatan maurole berniat menjadi orang pertama yang menginjakan kaki di pulau komodo. Da yang saat itu hanya diam melihat ayu turun ke bawah untuk segera menjejakan kaki nya. Tiba tiba kapal segera merapat ke pelabuhan dimana uda yang saat itu berada di tepi kapal dengan mudah melompat ke pelabuhan tanpa harus turun mengikuti jenjang nya dari lantai dasar kapal. Sehingga uda menjadi orang pertama yang berhasil melangkahkan kaki di pulau komodo sembari tersenyum kepada ayu yang masih menunggu kapal bisa merapat. Da yang tidak berencana sebelumnya menjadi tertawa terbahak kepadanya yang membuatnya semakin dongkol tak menentu.

Perlahan kami mulai melangkah memasuki gerbang komodo national park beriringan sembari tersenyum bahagia. Tak lupa kami foto bersama di depan gerbang masuk kemudian melanjutkan ke tempat pemesanan tiket. Saya lupa persis harganya tetapi ketika di total semuanya masing masing kami membayar  45 ribu termasuk menyewa ranger. Ranger adalah sebutan untuk pawang nya komodo, sayapun tak menanyakan kenapa disebut ranger yang jelas saat itu karena kami banyak sehingga membutuh kan  4 orang ranger. Pihak pengelola menawarkan 3 sesion perjalanan: short, medium dan long untuk menjelajah dan menemukan komodonya. Karena waktu yang terbatas kami memutuskan mengambil yang short nya. Dari segi biaya sich sama saja harga nya terhadap paket manapun yang kita ambil. Komodo sangat peka terhadap darah sehingga perempuan yang menstruasi di rombongan kami ada satu orang sehinngga harus tetap menjaga jarak aman dan didampingi oleh seorang ranger khusus.

Kami berjalan berombongan dan disarankan untuk tidak berpisah pisah apalagi sendirian dan terpisah dari kelompok. Karena kami hanya mengambil short paket sehingga tidak terlalu lama menjelajah alam dan kembali ke posko dengan jalur yang berbeda. Ketika jalan pulang kami bertemu dua ekor komodo yang lumayan besar di sebuah gubuk entah sedang tidur atau tidur tiduran. Anak anak mulai atusias bercampur takut melihat komodo makhluk yang hanya ada disatu satunya tempat di bumi ini. Saya sendiri merasa was was dan menjaga jarak dibandingkan beberapa teman teman yang berusaha mendekat dan mengambil gambar. Seorang ranger pun menawarkan untuk mengambil gambar secara dekat dan kami pun mengantri mengambil tempat untuk berpose bersama sang komodo. Kemudian setelah semua siap bahkan sempat merebut antrian ternyata hasil fotonya sangat mengecewakan dimana gambar kami di zoom oleh ranger sehingga menjadi blur tak menentu. Kami pun melanjutkan berfoto dengan posisi komodo sebagai latarnya ditambah perasaan tegang takut takut komodonya nanti mengejar kami.
Kami melanjutkan perjalanan setelah puas mengabadikan moment bahkan diperjalanan berikutnya kami jugaa melihat dua ekor lagi yang merayap di sepanjang perjalanan menuju tempat penjualan berbagai aksesoris komodo. Beberapa teman membeli gelang mutiara seharga 45 ribu, ada juga kaos komodo, patung komodo dari kayu dan berbagai pernak pernik lainnya. Dan saya entah kenapa tak tertarik untuk membelinya, menurut da tidak ada sesuatu yang istimewa dari komodo nya, apalagi ukiran nya yang terbuat dari kayu. Karena pulau ini masuk keajaiban dunia sehingga rasa ‘sesuatu’ nya kita berada disini yang membuat perjalanan ini terasa wah.

Pink Beach dari atas bukit
Awak kapal  menyuruh kami untuk bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju pink beach. Tak berjarak seberapa kami pun sudah sampai di pink beach  ketika matahari sudah mulai condong ke arah barat. Kapal yang kami tumpangi tidak bisa merapat ke area dangkal dan banyak terumbu karam sehingga kami menyewa sampan sampan kecil yang sudah merapat disekitar pantai. Ternyata bukan pasir nya yang bewarna merah muda melainkan terumbu karang nya yang sudah melebur bersama pasir nya sehingga membuat kesan pasirnya yang bewarna pink. Sore ini tak membuat da berminat berenang bersama yang lain nya yang menyelam melihat terumbu karang yang sangat mengagumkan. Da hanya berbaring menikmati senja yang akan menjelang di atas keindahan pasirnya yang bewarna. Sejurus kemudian da tergerak mendaki bukit karena ada sekolompok orang yang turun dari sabana yang menyegarkan mata. Da dan eci mulai naik ke atas dan mengambil berbagai spot untuk di potret, anak anak yang lagi mandi pun mulai mengikuti kami yang sudah setengah jalan mendaki bukitnya. Tak tahunya pemilik kapal segera menyuruh kami turun karena hari yang sudah senja sehingga kamipun kembali ke kapal melanjutkan perjalanan pulang. Walhasil pemandangan pantai pink dari atas bukit tidak bisa dinikmati sore itu.

Senja yang sangat sempurna mempesona menemani perjalanan pulang kami menuju Labuan bajo. Gelap mulai menangkap kami menghadiahkan bulan yang malam itu mulai menutup diri perlahan dan menjadi gerhana bulan total. Air laut terasa lebih ganas menggoyang kapal yang membawa kami kembali ke daratan. Rasa dingin sehabis mandi laut serta rasa lelah yang membuat kami mulai diam dan tiduran sambil memandang langit berbintang. Saat itu hanya kapal kami yang bergerak perlahan menuju pelabuhan yang terlihat sangat ramai di penuhi lampu lampu kapal yang merapat. Jam 10 an kami berhasil merapat dengan selamat kembali di pulau flores.

Minggu, 5 april 2015

Hari ini kami memutuskan untuk menginap di hotel disekitar pelabuhhan untuk menikmati wisata manggarai lainnya. Berhubung cuaca yang tak terlalu cerah membuat kami betah tinggal di kamar sehingga baru setelah zuhur kami berangkat dengan sebuah angkot menuju gua batu cermin. Setelah sampai di sana kami tidak bisa melihat pantulan staglaktit dan stalakmit nya karena matahari sedang tak bersahabat. Jika matahari bersinar terik, maka gua yang kami masuki akan dipenuhi oleh cahaya yang saling memantul di batu batu Kristal tersebut.

Bukit Cinta

Gua nya yang cukup sempit kadang membut kepala kita terantuk antuk oleh batu gua, untungnya kita sudah disediakan helm proyek. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju bukit cinta.

Labuan Bajo

Butuh tenaga ekstra untuk mendaki bukit yang lumayan terjal ini. Tetapi setelah kita sampai di puncaknya kita segera disuguhi keindahan Labuan baju dan beberapa pulau yang dihubungi oleh laut yang selalu mempesona buat da pandangi sembari mengirimkan sinyal penenang ke dalam otak.

Malam mulai menghadirkan kota yang dipenuhi oleh bule bule yang sedang memilih makanan laut yang masih segar segar di sepanjang pelabuhan yang menjajakan berbagai macam pondok jajanan malam pinggir jalan. kami pun segera berburu wisata kuliner sea food yang menggugah selera. Da dengan mantap memesan udang bakar, yang lainnya memasan cumi serta ikan bakar yang cukup besar. Kita bisa memilih makanan laut tersebut yang kita inginan untuk dibakar oleh penjual. Sehingga cukup memakan waktu menunggu pesanan kita selasai diproses. Ketika kami akan berfoto bersama, seorang bule yang mau duduk di dekat meja kami menawarkan diri untuk memoto kami yang kemudian kami anggukan bersama. Ada juga bule yang sendirian, yang lagi hamil, bahkan ada yang terlihat nyinyir memilih dan menawar ikan ikan yang akan disantapnya. Malam ini kami merasakan kebahagian.

Senin, 6 april 2015


Bandara Komodo

Hotel yang sangat dekat dengan laut membuat mandi kami tidak sesegar biasanya. Setelah semua siap berkemas, kami menuju bandara komodo yang sebelumnya kami sempatkan untuk pamit di rumah makan Setia Baru tempat pertama kami mengadu di kota ini. Takut tertinggal pesawat kami segera menuju bandara dengan angkot. Menunggu cukup lama kami  pun mendengar pengumuman bahwa pesawat menuju kupang yang transit di ende di delay karena cuaca yang tak bersahabat. Pesawat yang akan kami tumpangi masih berada di udara denpasar menuju Labuan bajo. Kami yang jarang naik pesawat merasa exited mendengar kabar delay karena untuk pertama kalinya merasakan delay dalam perjalanan pesawat.

Komodo Airport











Delay dapat snackbox
Cuaca memang terlihat mendung dan bandara terlihat penuh oleh penumpang yang semakin banyak menunggu. Anak anak mulai tertidur satu persatu. Tiba tiba pinta yang berbadan besar yang tidur di bagian belakang ruang tunggu ngorok sampai suaranya terdengar cukup keras. Sontak kami yang berada disekitarnya tertawa riuh sehingga sesaat kami menjadi pusat perhatian teralih dari bule bule yang berpasangan yang sedang melakukan adengan adegan dramatis melewati delay pertama ini. Pesawat kami sudah mendarat di landasan bandara komodo dan kami pun satu persatu bergerak naik. Hujan turun cukup lebat dan kami disediakan payung satu persatu menuju pesawat lion tersebut. Ketika pesawat akan take off, kami saling memandang satu sama lain karena hujan menggucang pesawat cukup hebat. Imam, anak ortu angkat kami di ende mulai terlihat cemas karena pesawat terasa bergoncang menyambut hujan yang turun.
Mendarat dengan selamat setelah perjalanan yang cukup mengguncang hati, kami disambut oleh pak an di bandara ende. Tak taunya pak an sudah merental mobil untuk kami pulang dari Bandar menuju rumah yang tak memakan waktu 5 menit membuat perjalan kali ini benar benar terasa exlusif. Sampai dirumah kami hanya tertawa mencoba mencairkan suasana rumah yang terasa sedikit tegang. Dan melupakan pembahasan tentang perjalanan kali ini yang terdapat beberapa arah yang berbeda. Kali ini da masih bahagia.

Read More
    email this

14 Desember 2015

Published Desember 14, 2015 by with 0 comment

Waerebo : Perantau Minangkabau di Bumi Flores



Fly high in front of traditional house of waerebo


Perjalanan ende – manggarai

30 – 31 desember 2014.

Atas kesepakatan bersama sm3t ende angkatan  4 LPTK UNP

SM3T ENDE 4 UNP

kami mengadakan jalan jalan ke wae rebo yang terletak di kabupaten Manggarai masih di pulau flores. Berangat setelah sholat zuhur menggunakan DAMRI yang kami sewa selama 4 hari perjalanan. Tidak mudah untuk menemukan lokasi ini karena kami membutuhkan beberapa hari untuk mencapai negeri di atas awan tersebut. sopir yang juga tidak tahu pasti jalannya membuat kami harus tersesat beberapa kali. Bertemu orang orang mabuk di jalanan ruteng tengah malam sampai menemukan  jembatan yang menghubungkan jalan berukuran kecil dini hari dan  sebelum tersesat lebih jauh kami menginap di areal tersebut sembari menunggu pagi datang menjelang. Da tidur sembari duduk di bangku damri  yang mebuat badan ini penat tak karuan. Teman2 yang lain tidur beralaskan tikar seadanya di lantai dan kolong2 bangku bus damri. Da sebenarnya kesulitan untuk memejamkan mata dan seringkali terbangun oleh suara sekecil apapun. Kejadian dini hari yang da ingat ketika rian mengambil air di dalam gallon dimana gallon tersebut persedian minum kami untuk keperluan BAB nya yang dipermasalahkan oleh hampir semua teman2. Pagi yang masih berselimut kabut, teman2 mulai bergerak mencari rumah warga untuk sekedar mencuci muka. Pemilik warung berbaik hati menumpangkan kami dirumahnya sehingga antrian kamar mandi tak terelakan lagi. Sembari antri mama yang mempunyai warung merebus mie yang dipesan oleh beberapa orang dan da pun ikut memesan yang kemudian dibayar oleh imel. Beliau juga menunjukan arah yang harus kami lalui untuk menemukan waerebo.



Siang yang cerah bus pun bergerilya di jalanan yang sempit berkelok kelok dan menuruni perbukitan menuju arah pantai. Masih terasa jauh jalan yang ditempuh karena kami buta akan daerah yang kami tuju. Sekitar jam 3 sore kami berhenti di dekat pantai dimana masyarakatnya mayoritas muslim. Beliau menyuruh kami untuk istirahat di rumahnya terlebih dahulu karena perjalanan yang ditempuh masih jauh. Kami se isi oto belum menganjal perut dimana waktu makan siang yang sudah berlalu. Anak anak memutuskan memasak mie rebus di rumah warga tersebut yang berbaik hati meminjamkan peralatan memasak dan peralatan makan lainnya. Setelah makan hujan turun cukup lebat, tuan rumah menyuruh kami menunda perjalanan dan berangkat saja besok. Berunding cukup lama kami pun melanjutkan perjalanan setelah hujan mulai reda.


Bersama Bapak Blasius yang sedang memberi wejangan

Berbekal petunjuk demi petunjuk dari warga yang kami temui akhirnya sampai juga di desa terakhir yang bisa ditempuh oleh bus. Alhamdulillah kami sampai di DENGE ketika senja mulai menjelang. Langit masih terlihat mendung dan pemilik penginapan menyarankan kami untuk bermalam di denge. Bapak Blasius adalah pemilik penginapan yang merupakan keturunan waerebo yang “turun gunung”. Beliau hanya sesekali naik ke waerebo jika ada upacara adat. Pekerjaanya sebagai guru di sdk denge mengharuskannya menetap di denge sekaligus sebagai duta wisata perkampungan adat waerebo. 


Bocah-bocah Waerebo

Kami berencana melalui tahun baru di waerebo tetapi  berhubung hari sudah malam tidak ada guide yang akan memandu perjalanan kami. Bahkan setelah kami menyewa semua kamar masih ada beberapa mahasiswa dari Jakarta yang juga ingin menginap di tempat yang merupakan satu satunya penginapan yang tersedia di denge. Akhirnya ada warga yang mau menampung mereka di rumah sederhananya yang tanpa lampu. Sedangkan kami cukup beruntung dapat penerangan dari genset sampai jam 10 malam. Semua sudah terlelap dengan cepat karena kelelahan setelah perjalanan lebih kurang dua hari tanpa kualitas tidur yang nyaman. Malam pergantian tahun berlalu di dalam mimpi kami masing masing. Tanpa listrik dan tanpa sinyal memaksa kami tidur lebih awal untuk trecking besok pagi.

Awal Tahun baru 2015

Irman menggedor semua pintu kamar teman teman yang terlelap dalam mimpi masing masing. Janji yang semula bangun jam 3 pagi selalu berujung menjadi jam setengah enam. Bapak Blasius memberi wejangan apa -apa yang harus kami lakukan selama perjalanan hari ini karena perkampungan adat waerebo masih memegang nilai nilai leluhur mereka yang masih berbau mistik. Berbekal tekad yang kuat kami mulai berangkat dipagi awal tahun.

Posko pertama trecking

Walaupun da sakit flu semenjak sehari sebelum natal da tetap semangat untuk berjalan mendaki kurang lebih 9 km. pendakian kami dipimpin oleh seorang bapak yang berumur sekitar 50 an tahun. Dua km di awal kami melalui jalan yang diberi bebatuan sehingga perjalanan belum terasa melelahkan. Tetapi setelah di km tiga kami mulai memasuki jalanan setapak di dalam hutan sehingga mulai terbentuk kelompok kelompok kecil yang berjalan beriringan. Dan mereka yang dengan semangat 45 berada di  rombongan terdepan. Kami melalui jalanan dengan bernyanyi bersama, menyambung kata demi kata lirik dalam sebuah lagu  bergantian orang demi orang sehingga membuat perjalanan terasa ringan dan menyenangkan.


awal pendakian

Satu kilo meter menjelang perkampungan tersebut kami sudah diwanti wanti untuk tidak mengambil gambar dengan kamera.

posko kedua trecking

Kami mulai banyak diam merasakan aura yang mulai terasa mistis.Kami akhirnya sampai di sebuah pondok dan berkumpul bersama sebelum benar benar memasuki waaerebo. Bapak yang memandu kami kembali mengingatkan kami akan peraturan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Bapak tersebut mulai membunyikan sesuatu berupa alat yang mengeluarkan bunyian seolah olah mengirim pesan ke dalam kampung bahwa ada tamu yang datang berkunjung.

Jalan Masuk ke Waerebo

Setelah mengirim bebunyian beberapa kali kami kembali menuruni perbukitan yang sudah didominasi oleh perkebunan kopi. Kami berkumpul di gerbang utama menunggu semua datang berkumpul dan masuk bersama-sama. Saat itu di dalam hati da ingin bersorak melihat sekitar 7 buah rumah adat berbentuk kerucut  (Mbaru Niang) berukuran raksasa terpampang dihadapan kami. Konon 17 abad silam perantau Minangkabau lah yang mendirikan perkampungan ini, seolah-olah kami merasakan jiwa para leluhur menyambut kedatangan kami. Gerimis menemani perjalanan kami memasuki rumah utama untuk mulai berdoa kepada leluhur sesuai kepercayaan mereka. Bapak yang memandu kami berbicara dalam bahasa yang pasti tidak kami mengerti dengan seorang kepala adat.


Dalam Perjalanan menuju waerebo

Ketua adat berbicara sendiri mengeluarkan mantra mantra untuk leluhur. Setelah acara sembahyang dalam kepercayaan waerebo barulah kami diperkenankan untuk mengambil foto diberbagai tempat. Merasa takjub dengan keindahan perkampungan ini serasa benar benar di atas awan. Gerimis sudah reda dari tadi sehingga menambah semangat kami untuk berfoto sampai tak tahu waktu. Sekitar dua jaman berfoto baik itu sendiri sendiri,  berkelompok dan tak lupa berdualima dengan latar ketujuah rumah utama yang berbentuk kerucut tersebut serta bersama ketua adatnya.

di dalam mbaru niang

Kami dipanggil kembali untuk makan di rumah utama dengan menu nasi, telur dadar, sayur japan plus cabenya yang ekstra pedas tingkat tinggi yang mebuat kepala da berdenging. Air pegunungan yang benar benar terasa menyegarkan melalui tenggorokan menambah nikmat makan kami siang itu. Untuk menikmati menu special ini kami harus mebayar masing masing 100 ribu per orang. Hal ini bisa dimaklumi karena untuk membeli bahan makanan tersebut mereka harus menempuh jalan sampai 18 km untuk bolak balik menempuh kampung terdekat.
Warga yang da temui terlihat jauh dari wajah flores. Mereka mempunyai kulit yang lebih cerah serta wajah yang da yakini lebih dekat ke arah minangkabau daripada wajah flores yang keras. Da dan tuti berkunjung ke dapur mereka yang terletak di tengah2 kerucut mbaru niang. Bercerita bersama para mama tentang betapa bahagianya kami memiliki leluhur yang sama. Sama halnya menemukan rumah makan padang di negeri ini, bisa bercengkrama dengan keturunan para leluhur minangkabau berabad abad silam yang tersembunyi di dalam hutan belantara tanah flores merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa yang membuat kami merinding sesaat. Kami merasa bangga telah mengunjungi negeri yang sudah mendunia ini.


Dapur Mbaru Niang


Pintu masuk Mbaru Niang
 Perkampungan adat waerebo ini lebih dulu mendunia karena lebih dulu dikunjungi oleh turis mancanegara yang mereka temukan melalui goegle map sehingga tempat ini sudah diakui oleh UNESCO sebagai situs dunia yang harus dilindungi dari kepunahan. Mbaru niang ini sudah mengalami renovasi untuk mempertahankan 7 buah rumah utama tersebut setelah semakin banyaknya kunjungan dari dalam maupun luar negeri yang menjadi asset dalam pengumpulan dana.


jembatan bambu menuju waerebo





Read More
    email this