Kelimutu |
Pagi Kelimutu Berkabut |
Kamis pagi.
Da, tina, bang dika dan eci menumpang angkot yang sudah disewa
oleh bang ade viola untuk terlebih dahulu menuju terminal timur Roweroke. Da dan
tina kemudian naik bis jurusan wolowaru sedangkan bang dika dan eci naik bus
yang lain menuju watuneso. Sembari menunggu penumpang kami berbicara dengan
mama-mama yang berada di atas bis. Mereka bilang kepada kami untuk tidak takut
karena orang flores walau omongannya keras-keras tapi mempunyai hati yang baik.
Hal ini sedikit mengobati rasa takut di hati. Bis perlahan melaju membelah bumi
flores melewati pegunungan, lembah yang terjal, jurang yang dalam di sepanjang KM
17. Sesekali bis terhenti karena adanya proyek pembangunan jalan. Hutannya yang
tak begitu lebat membuat angin bertiup sangat kencang, menandakan musim kemarau
sedang berlangsung di negeri ini.
Bapak Tibo Agustinus |
Bis yang kami tumpangi pun berhenti di pasar Moni sekitar
pukul 11 siang. Kami sudah berpesan kepada mama-mama yang mengajak kami
mengobrol tadi untuk turun pemberhentian ini. Ternyata bapak Agus sudah
menunggu di persimpangan jalan. Beliau langsung menyuruh tina untuk naik ojek
sedangkan da berjalan kaki sekitar 500 meter memasuki jalan setapak menuju
rumah kediamannya. Telinga da berdenging menyambut suasana moni yang cukup
mencekam, sepi. Sepanjang jalan da melihat babi-babi peliharaan, anjing berkeliaran
bebas seperti layaknya ayam-ayam di ranah minang dan orang -orang dengan wajah lokal
yang masih terlihat asing membalas senyum da sesekali. hati ini mulai berbicara
sendiri, bergumul dengan berbagai pergolakan yang akan banyak dihadapi.
Kak Pin dan da yang duduk bersama krisna anaknya |
Tak lama kami pun sampai di rumah bapak agus yang disambut
oleh seorang perempuan berambut pendek sebahu, boleh dibilang berkulit hitam,
rambutnya yang keriting ala-ala negroid. Kak pin, menantu beliau yang menggendong
salah satu anaknya yang hitam mungil. Sistem patrilineal yang mereka anut
mengharuskan perempuan ini tinggal di rumah suaminya setelah mereka menikah.
Kevin anak pertamanya yang sudah duduk di bangku TK kemudian trisna dan krisna
adalah sepasang kembar perempuan yang baru berumur sekitar dua tahunan. Tak
lupa pula kami disambut gonggongan anjing yang mengibas-ngibaskan ekornya
kesana-sini sembari berkeliaran di dalam rumahnya.
Di depan rumah pak agus |
Rumah riuh oleh gongongan anjing seolah ikut sibuk menyambut kedatangan kami berdua. Da masih berusaha beradaptasi dengan kondisi sekitar dimana telinga da masih berdenging mengunjungi kediaman bapak Tibo Agustinus yang manjadi kepala sekolah di tempat da akan mengajar nantinya. Rumah beliau terdiri atas 5 kamar yang disekat dengan bamboo- bamboo yang dianyam, satu buah dapur, kamar mandi yang terpisah dengan rumah utama serta ruang tamu. Di ruang tamu ada sebuah lemari kaca yang berisikan beberapa kebutuhan pokok yang dijual ke tetangga sekitar seperti mie instant, gula, deterjen, sabun, gula dsb.
Setelah duduk beberapa saat kami dihidangkan bubur kacang
hijau yang dicampur dengan ubi kayu. Melihat tekstur dan wadah penyajiannnya membuat
da sedikit sanksi akan kehalalannya. Pertama da merasa illfeel tetapi demi menghargai tuan rumah, terpaksa bubur tersebut
ditelan perlahan-lahan. Selama kami makan, anjingnya yang diberi nama “happy”
berkeliaran di kaki-kaki kami, entah apa yang ingin da sebut. Ingin rasanya
memuntahkan apa yang sudah dimulut, tapi da mengingat lagi, inilah hidup yang
akan da perjuangkan satu tahun kedepan. Dan da berdoa di dalam hati agar diberi
kekuatan untuk melalui ini agar bisa beradaptasi dengan masyarakat flores yang
notabene beragama khatolik.
Bersama anak-anak Kelimutu |
0 komentar:
Posting Komentar