31 Desember 2016

Published Desember 31, 2016 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 2

Nusa Tenggara Timur
OTO KAYU


Rabu, 3 September 2014 akhirnya kami berkumpul di kantor dinas PPO untuk berangkat ke Danau Kelimutu. Kami pergi menggunakan transportasi yang disebut “Oto Kayu”. Ternyata Oto Kayu ini adalah alat transportasi utama di kabupaten Ende. Transportasi ini sangat unik dan
mungkin hanya dapat kita temukan di Ende. Sebenarnya di daerah lain juga ada oto kayu ini, namun tidak digunakan untuk membawa penumpang melainkan untuk barang-barang seperti pasir, batu bata, dan lain-lain. Sedangkan di ende flores, oto ini bisa membawa apa saja dalam satu kali waktu dimana  di atas oto ini ada penumpang, barang dan juga ada hewan seperti babi atau sapi serta ayam yang dibawa bersamaan. Perjalanan ke danau kelimutu sangat menyenangkan. Kawah 3 warna yang disajikan oleh tempat ini benar-benar indah. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya saya bisa sampai di danau yang menjadi tujuan wisata para turis baik dari lokal maupun manca negara ini. Walaupun kita harus susah payah mendaki menuju puncak gunung kelimutu ini, namun itu bisa terbalaskan dengan pemandangan yang sangat mempesona ini. Kami kembali ke rumah dan tiba sekitar jam 4 sore. Saya pun beristirahat dan menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke daerah penempatan esok pagi.

Kamis, 4 September 2014 saya bangun pagi dan telah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah pengabdian. Kepala sekolah menjemput saya ke beskem kami dan kami pergi ke terminal ndao. Di terminal ini ada banyak oto dengan berbagai jurusan seperti nangapanda, oja, maukaro, mokeasa dan wologai. Di terminal ini pun sudah menanti 2 orang guru yang ternyata juga mengajar di  SMPN Satap Wologai yaitu Ibu Yossi dan Ibu Ica. Saya berangkat ke wologai dengan oto bersama guru ini dan kepala sekolah berangkat dengan motor.

Oto berangkat dari terminal ndao pukul 11.25. Perjalanann dari Ende ke Wologai memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang sangat parah, padahal jarak dari kecamatan ende ke wologai hanya 85 km. Banyak lubang dan kerikil yang membuat oto berjalan miring dengan kecepatan yang sangat lambat. Saya merasa tidak sabar ingin melihat daerah pengabdian saya. Tempat dimana saya akan tinggal dan bersosialisasi dengan masyaraktnya selama selama satu tahun mendatang. Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan, tibalah saya di sekolah pengabdian dan sesuai dugaan memang kondisi sekolah ini sangat memprihatinkan. Saya turun dan guru yang lain membawakan barang-barang.

Di sekolah sudah menunggu kepala sekolah dan 2 orang guru lainnya yaitu bapak Ludwik Jata dan bapak Yeremias Da. Saya duduk dan mereka menjelaskan kondisi dan situasi sekolah penempatan saya ini. SMP Negeri Satu Atap Wologai pertama kali berdiri tahun 2009. Sekolah ini telah terakreditasi C dan sudah meluluskan 3 angkatan. Daerah ini belum menikmati listrik negara. Mereka masih harus menggunakan generator yang dinyalakan bila ada pengetikan administrasi sekolah seperti surat-surat dan soal ujian. Sinyal telepon juga sulit ditemukan di sekitar sekolah sehingga kita harus mendaki sekitar 500 meter ke atas gereja untuk mendapatkan sinyal. Begitu juga dengan air pada musim kemarau ini sulit didapatkan, kecuali jika musim hujan sudah tiba maka air lumayan lancar dan mengalir setiap hari. Air ditampung secara langsung melalui pipa-pipa yang telah ada pada masing-masing tugu air. Kebetulan di sekitar sekolah ada 2 tugu air, satu di SD dan satu lagi di SMP. Berhubung sekarang musim kemarau maka bisa jadi dalam seminggu air hanya keluar satu atau 2 kali. Sehingga kita memerlukan jerigen-jerigen untuk menyimpan persediaan air jika air tidak mengalir untuk hari-hari selanjutnya. Begitulah kedua guru tersebut sedikit menjelaskan mengenai kondisi sekolah dan lingkungan di sekitar. Nanti ibu akan mengetahui secara langsung setelah beberapa hari tinggal disini, ucap kepala sekolah. Kondisi lingkungan di sekitar sekolah sangat kering, jika angin datang debu beterbangan dan tidak ada pohon yang ditanam di sekitar sekolah. Pertemuan berakhir dan saya diantar ke ruangan/kamar di tempat saya akan menginap selama satu tahun ini.
Pertama kali melihat kondisi kamar, saya sempat syok dan sedih. Kondisi ini sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Saya berfikir walaupun daerahnya terpencil, setidaknya tempat tinggal kita masih layak huni dan sedikit nyaman. Saya mengira rumahnya masih ada lantai walupun kasar, masih ada dipan yang agak bagus walaupun kecil, dan masih ada kasur walaupun tidak tebal. Namun, itu berbeda 1800 dari apa yang saya perkirakan. Kamar yang hanya beralaskan tanah, dinding yang hanya dilapisi oleh bambu yang sudah rapuh dan berlobang, dipan yang hanya terbuat dari bambu dan alas tidur yang hanya dilapisi dengan tikar yang sudah lusuh. Saya mencoba tegar dan sabar melihat kondisi ini, namun tanpa saya sadari satu dua tetes air matapun mengalir di pipi tanpa bisa saya kontrol. Dalam hati saya , timbul sedikit kesedihan dan penyesalan kenapa saya harus ditempatkan di daerah dengan kondisi lingkungan yang seperti ini. Namun, saya cepat-cepat menyeka air mata karena saya tidak mau terlihat sedih di depan guru (ibu yosi dan ibu ica) yang membantu saya meletakkan barang-barang saya di kamar. Ibu yosi mengatakan kamar saya juga bersebelahan dengan dapur masak yang menggunakan kayu. Jika ada yang masak di dapur, maka asapnya akan sampai di kamar saya dan membuat semua barang-barang menghitam. Jadi ibu jangan terlalu banyak meletakkan barang-barang di luar pembungkus atau tas ya, katanya kepada saya. Saya hanya bisa tersenyum, dan mengangguk atas apa yang beliau katakan.

    email this

0 komentar:

Posting Komentar