OTO KAYU |
Rabu,
3 September 2014 akhirnya kami berkumpul di kantor dinas PPO untuk berangkat ke Danau Kelimutu. Kami pergi
menggunakan transportasi yang disebut “Oto Kayu”. Ternyata Oto Kayu ini adalah
alat transportasi utama di kabupaten Ende. Transportasi ini sangat unik dan
mungkin hanya dapat kita
temukan di Ende. Sebenarnya di daerah lain juga ada oto kayu ini, namun tidak
digunakan untuk membawa penumpang melainkan untuk barang-barang seperti pasir,
batu bata, dan lain-lain. Sedangkan di ende flores, oto ini bisa membawa apa
saja dalam satu kali waktu dimana di
atas oto ini ada penumpang, barang dan juga ada hewan seperti babi atau sapi
serta ayam yang dibawa bersamaan. Perjalanan
ke danau kelimutu sangat menyenangkan. Kawah 3 warna yang disajikan oleh tempat
ini benar-benar indah. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya saya bisa sampai di
danau yang menjadi tujuan wisata para turis baik dari lokal maupun manca negara ini.
Walaupun kita harus susah payah mendaki menuju puncak gunung kelimutu ini,
namun itu bisa terbalaskan dengan pemandangan yang sangat mempesona ini. Kami kembali ke
rumah dan tiba sekitar jam 4 sore. Saya pun beristirahat dan menyiapkan
barang-barang yang akan dibawa ke daerah penempatan esok pagi.
Kamis,
4 September 2014 saya bangun pagi dan telah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah
pengabdian. Kepala sekolah menjemput saya ke beskem kami dan kami pergi ke
terminal ndao. Di terminal ini ada banyak oto dengan berbagai jurusan seperti
nangapanda, oja, maukaro, mokeasa dan wologai. Di terminal ini pun sudah
menanti 2 orang guru yang
ternyata juga mengajar di SMPN Satap Wologai yaitu Ibu Yossi dan Ibu Ica.
Saya berangkat ke wologai dengan oto bersama guru ini dan
kepala sekolah berangkat dengan motor.
Oto
berangkat dari terminal ndao pukul 11.25. Perjalanann dari Ende ke Wologai
memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang sangat
parah, padahal jarak dari kecamatan ende ke wologai hanya 85 km. Banyak lubang dan kerikil yang membuat oto berjalan
miring dengan kecepatan yang sangat lambat. Saya merasa tidak sabar ingin
melihat daerah pengabdian saya. Tempat dimana saya akan tinggal dan bersosialisasi dengan masyaraktnya selama selama satu tahun mendatang. Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan, tibalah saya di sekolah
pengabdian dan sesuai dugaan memang kondisi sekolah ini sangat
memprihatinkan. Saya turun dan guru yang lain membawakan barang-barang.
Di
sekolah sudah menunggu kepala sekolah dan 2 orang guru lainnya yaitu bapak
Ludwik Jata dan bapak Yeremias Da. Saya duduk dan mereka menjelaskan kondisi
dan situasi sekolah penempatan saya ini. SMP Negeri Satu Atap Wologai pertama
kali berdiri tahun 2009. Sekolah ini telah terakreditasi C dan sudah meluluskan
3 angkatan. Daerah ini belum menikmati listrik negara. Mereka masih harus
menggunakan generator yang dinyalakan bila ada pengetikan administrasi sekolah
seperti surat-surat dan soal ujian. Sinyal telepon juga sulit ditemukan di
sekitar sekolah sehingga kita harus mendaki sekitar 500 meter ke atas gereja
untuk mendapatkan sinyal. Begitu juga dengan air pada musim
kemarau ini sulit didapatkan, kecuali jika musim hujan sudah tiba maka air
lumayan lancar dan mengalir setiap hari. Air ditampung secara langsung melalui pipa-pipa yang
telah ada pada masing-masing tugu air. Kebetulan di sekitar sekolah ada 2 tugu
air, satu di SD dan satu lagi di SMP. Berhubung sekarang musim kemarau maka bisa jadi dalam seminggu air
hanya keluar satu atau 2 kali. Sehingga kita memerlukan jerigen-jerigen
untuk menyimpan persediaan air jika air tidak mengalir untuk hari-hari selanjutnya. Begitulah kedua guru tersebut sedikit menjelaskan
mengenai kondisi sekolah dan lingkungan di sekitar. Nanti ibu akan mengetahui
secara langsung setelah beberapa hari tinggal disini, ucap kepala sekolah. Kondisi lingkungan di sekitar
sekolah sangat kering, jika angin datang debu beterbangan dan tidak ada pohon
yang ditanam di sekitar sekolah. Pertemuan berakhir dan saya diantar ke
ruangan/kamar di tempat saya akan menginap selama satu tahun ini.
Pertama
kali melihat kondisi kamar, saya sempat syok dan sedih. Kondisi ini sangat jauh dari apa
yang saya bayangkan. Saya berfikir walaupun daerahnya terpencil, setidaknya
tempat tinggal kita masih layak huni dan sedikit nyaman. Saya mengira rumahnya
masih ada lantai walupun kasar, masih ada dipan yang agak bagus walaupun kecil,
dan masih ada kasur walaupun tidak tebal. Namun, itu berbeda 1800
dari apa yang saya perkirakan. Kamar yang hanya beralaskan tanah, dinding yang
hanya dilapisi oleh bambu yang sudah rapuh dan berlobang, dipan yang hanya
terbuat dari bambu dan alas tidur yang hanya dilapisi dengan tikar yang sudah
lusuh. Saya mencoba tegar dan sabar melihat kondisi ini, namun tanpa saya
sadari satu dua tetes air matapun
mengalir di pipi tanpa bisa saya
kontrol. Dalam
hati saya , timbul sedikit kesedihan dan penyesalan kenapa saya harus ditempatkan di daerah dengan
kondisi lingkungan yang seperti ini. Namun, saya cepat-cepat menyeka air mata karena saya tidak mau terlihat sedih
di depan guru (ibu yosi dan ibu ica) yang membantu saya meletakkan
barang-barang saya di kamar. Ibu yosi mengatakan kamar saya juga bersebelahan dengan dapur masak yang
menggunakan kayu. Jika
ada yang masak di dapur, maka asapnya akan sampai di kamar saya
dan membuat semua barang-barang menghitam. Jadi ibu jangan terlalu banyak meletakkan
barang-barang di luar pembungkus atau tas ya, katanya kepada saya. Saya hanya
bisa tersenyum, dan mengangguk atas apa yang beliau katakan.
0 komentar:
Posting Komentar