1 Januari 2017

Published Januari 01, 2017 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 3

Nusa Tenggara Timur


Malam hari pertama saya tidur di wologai, dingginnya udara malam merasuk sampai ke sum-sum tulang. Bahkan saya tidak bisa terlelap sedikitpun. Sepanjang malam saya terjaga karena angin malam yang terlalu dingin masuk ke kamar karena keadaan kamar yang sudah bolong-bolong tersebut. suara-suara anjing saling berganti menggonggong di malam hari, tambah membuat saya tidak bisa tidur. Saya benar-benar merasa takut, ditambah lagi penerangan tidak ada, saya nyalakan lilin namun terus mati apinya karena ditiup angin. Hingga sampai esok paginya saya bangun. Sekitar jam 5 saya bangun dan saya hendak mandi. Walaupun pagi hari sangatlah dingin karena daerah ini berada di puncak gunung, namun saya harus memaksakan diri untuk mandi. Kenapa? Karena kamar mandi yang ada di rumah tersebut hanya satu sedangkan yang tinggal di rumah tersebut tidak hanya saya sendiri. Ada 4 kamar di rumah tersebut. Ada 4 orang guru dan 2 orang sudah berkeluarga dengan membawa istri dan anak-anaknya ikut serta tinggal di rumah tersebut. Kamar mandi itu pun juga tidak layak lagi, pintu kamar mandi yang tidak ada dan hanya di tutup dengan seng membuat saya tidak nyaman mandi jikalau nanti terbuka sendiri. Jika saya mandi dalam kondisi dimana guru-guru yang lain masih tidur saya merasa nyaman, tanpa khawatir jika nanti ada yang ngantri ke kamar mandi juga. Saya shalat subuh dan selesai berpakaian untuk ke sekolah jam 6 , namun saya lihat di sekeliling belum ada teman guru yang bangun. Mereka masih tertidur padahal matahari sudah keluar dari persembunyiannya.  

Saya pergi ke sekolah di hari pertama dan beberapa siswa pun sudah mulai ada yang datang. Saya rang pertama yang datang ke sekolah. Saya membuka kunci pintu kantor karena tadi pak Pak Jimmi yang satu rumah dengan saya memberikan kunci agar saya bisa masuk ke kantor majelis guru. Aktifitas sekolah dimulai pukul 07.15. lonceng dibunyikan pukul 07.15 siswa-siswa berbaris di lapangan. Mereka menyebutnya apel pagi. Mereka berdoa dan bernyanyi sebelum masuk ke kelas. Namun, lagu yang mereka nyanyikan bukan lah lagu mengenai pendidikan nasional, akan tetapi itu adalah lagu sesuai agama mereka yaitu katolik. Lagu pertama yang saya dengar itu berjudul “Bunda Maria”.

Siswa-siswa yang sekolah di SMPN Satap Wologai ini tidak hanya berasal dari desa wologai, namun juga datang dari desa tetangga, seperti boafeo, gego, wololaja, mbani, kanakera, boro, dan mbotutanda. Desa-desa ini memiliki jarak yang sangat jauh dengan wologai. Perjalanan mereka ke sekolah bisa mencapai waktu selama 1 sampai 2 jam. Maka mereka harus berangkat dari rumah sekitar jam 5 pagi. Namun, saya perhatikan, jarak yang sangat jauh tersebut tidak mengurangi sedikitpun keinginan mereka untuk datang ke sekolah. Kalau dari segi fisik, memang siswa disini banyak yang sudah melebihi layaknya seorang siswa SMP. Mereka memiliki badan yang cukup besar. Setelah saya ketehui ternyata ada yang umurnya Cuma 3 tahun di bawah umur saya. Beberapa diantara mereka ada yang telah berumur 19-22 tahun. Umur yang seharusnya mereka sudah berada di bangku perguruan tinggi. Ya, begitulah wologai, dengan lingkungan yang terbatas membuat mereka susah untuk sekolah dan melanjutkan pendidikan. Namun, saya sangat salut dengan perjuangan mereka datang ke sekolah untuk mendapatkan butir-butir ilmu pengetahuan. Setelah mereka selesai berdoa, pak jimmi yang memimpin apel pagi kali ini memperkenalkan saya kepada siswa. Memang dari tadi mereka terus melihat ke arah saya, mungkin karena melihat ada wajah baru di sekolah. Perkenalan singkatpun selesai dan seluruh anak-anak disiapkan untuk masuk ke dalam kelas masing-masing.

Saya ditugaskan untuk mengajar IPA di kelas VIII yang merupakan bidang jurusan saya. Selain itu saya juga ditugaskan mengajar matematika di kelas VII dan untuk satu semester saya juga dibebankan mengajar bahasa inggris di kelas IX. Ya, saya mengajar 3 mata pelajaran. Kenapa? Sekolah ini memang memiliki guru yang cukup. Namun, guru yang sudah PNS, itu baru satu orang yaitu kepala sekolah. Wakil kepala sekolah dan guru-guru lainnya itu masih merupakan guru honor yang terkadang digaji sekali 3 bulan. Hal ini membuat guru tersebut terkadang malas untuk berangkat ke sekolah. Mereka lebih memilih mengurus kebun jika musim panen sudah datang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Ya, bisa dikatakan dalam satu hari guru yang ada di sekolah itu Cuma 3 sampai 4 orang dari 11 orang guru yang terdaftar. Bahkan yang datang tepat waktu itu sangat jarang. Kebanyakan guru akan datang jam 8 bahakn jam 9 baru mereka hadir di sekolah. Sehingga banyak kelas yang gurunya belum hadir di pagi hari.

Beberapa siswa di sekolah belum bisa menggunakan Bahasa Indonesia, mereka lebih cendrung berbahasa daerah ketika belajar di sekolah. Hal ini membuat saya sedikit kewalahan pada awalnya. Saya harus cepat belajar menggunakan bahasa ende agar interaksi saya dengan siswa berjalan dengan lancar. Siswa tersebut juga turut membantu saya dalam belajar bahasa daerah mereka, mereka berebutan memberi tahu saya ketika jam istirahat sekolah, kata-kata yang sering mereka ucapkan sehari-hari, kemudian saya mencatatnya kedalam buku. Buku itu saya beri nama “Kamus Bahasa Ende”. Begitulah setiap harinya saya beraktivitas di sekolah yang di mulai dari jam 6 pagi. Hampir setiap hari saya membuka pintu sekolah dan memimpin apel pagi.

    email this

0 komentar:

Posting Komentar