Tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi
saya untuk tinggal di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Melalui SM3T, saya
dapat menikmati perjalanan ke tanah Flores dan tinggal selama lebih kurang 1
tahun di Kabupaten Ende. Seusai prakondisi SM3T, saya beranjak pulang ke rumah
untuk berpamitan dan mengemas barang-barang yang akan dibawa sebagai bekal
tinggal di negeri orang. Satu keluarga ikut mengantarkan perjalanan saya di
Bandara Internasional Padang. Sebelumnya saya belum pernah naik pesawat ke
mana-mana dan sekali naik pesawat saya langsung naik 3 kali. Karena untuk
mencapai Ende dari Padang kita harus transit dua kali. Saya beserta rekan SM3T
lainnya bertolak dari BIM pada tanggal 28 Agustus 2014.
Sesampai
di Ende, saya dan rekan-rekan langsung menuju ke rumah orang tua angkat, yang
telah menjadi orangtua angkat anak SM3T sejak angkatan kedua. Di sana kami
beristirahat sebelum penentuan penempatan. Sehabis Dzuhur, kami langsung
berkumpul di Dinas PPO untuk melihat hasil penempatan. Di siilah kami yang
merupakan orang baru merasa deg-degan bagaimana dengan keadaan penempatan kami
nanti. Seusai pembagian penempatan, saya dipanggil oleh senior SM3T dari
Yogyakarta. Dia mengajak saya untuk meninjau penempatan saya yang merupakan
tempat mengabdinya sebelumnya. Dia memindahkan posisi penempatan saya yang
awalnya di Kota Baru menjadi Pora. Ini disebabkan oleh sekolah di Pora sangat
membutuhkan guru Bahasa Inggris.
Sebelum
meninjau tempat, saya sangat merasa cemas akan seprti apakah lokasi penempatan
saya. Sebelumnya saya telah sedikit bertanya-tanya tentang keadaan di sana.
Saya menanyakan apakah di sana ada listrik, air dan signal. Dan jawabannya
sangat memuaskan, di sana katanya sudah tersedia air bersih, listrik dan signalpun
sudah ada.
SMPS Pancasila Pora merupakan sekolah yang belum memiliki
akreditasi seperti sekolah-sekolah lain dan mepakan sekolah titipan yang
berinduk ke SMPN 4 Wolowaru. Sekolah ini didirikan tepat pada hari Pancasila
yakni 1 Juni 1970, makanya sekolah ini diberi nama SMPS Pancasila Pora.
Sekolah ini
hanya memiliki 2 Bangunan. Bangunan yang pertama memiliki 3 ruangan yang
dipergunakan sebagai ruangan kelas untuk 48 siswa dan bangunan yang kedua
memiliki satu ruangan yang digunakan sebagai kantor kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, 9 guru dan juga perpustakaan yang hanya dipisahkan oleh
lemari-lemari tanpa dinding pembatas ruangan. Sedikitnya pembatas antara
ruangan membuat tidak ada jarak antara kepala sekolah dan guru, sehingga
suasana keakraban selalu terasa.
Murid-murid
di sekolah ini tidak begitu banyak, hanya berjumlah 48 siswa yang terdiri dari
14 siswa kelas 1, 19 siswa kelas 2 dan 15 siswa kelas 3. Dengan sedikitnya
jumlah siswa suasana belajar jadi lebih kondusif dan efektif. Murid-murid di
sini sangat menghormati guru apalagi guru yang datang dari luar seperti saya.
Tetapi mereka sangat takut dengan guru-guru yang asli dari sana yang mana
mereka selalu membawa rotan atau sebilah kayu ke dalam kelas. Rotan atau kayu
ini digunakan tidak lain tidak bukan adalah untuk memukul siswa-siswa yang
berbuat salah. Dan tidak jarang juga saya melihat seorang guru memukul murid
dengan tangan kosong.
Di sini saya tinggal di rumah warga. Rumah tempat saya
tinggal selama mengabdi berada dekat dengan sekolah, tepat di seberang sekolah.
Tiga bulan pertama saya tinggal dengan seorang bibi yang perawan tua. Setelah
tiga bulan datanglah seorang bibi lagi dari kalimantan. Saya merasa nyaman
tinggal di rumah ini, karena saya masih bisa menikmati air dan listrik dengan
mudah. Tetapi sayangnya kedua bibi ini tidak begitu cocok sehingga saya agak
susah untuk menyatukan mereka.
Tempat saya tinggal berada sekitar 76 km dari ibukota
kabupaten dan 3 km dari ibukota kecamatan. Akses ke sana agak sulit dikarenakan
kurangnya angkutan umum. Kebanyakan warga sering menyewa jasa ojek untuk
mencapai ibukota kecamatan. Akibat jalan yang berlubang-lubang dan medan yang
mendaki menurun menyebabkan perjalanN yang normalnya bisa di tempuh dengan
waktu 8 menit bisa menjadi 15 menit atau lebih.
Karena sulitnya alat transportasi, saya dan salah seorang
teman yang ditempatkan ditempat yang sama sepakat untuk membeli sepeda motor.
Kami memutuskan membeli sepeda motor bekas sebagai alat transportasi kami
selama berada di wilayah 3T. Alhamdulillah dengan sepeda motor bekas itu kami
jadi lebih terbantu untuk ke pasar membeli kebutuhan sehari-hari dan kami
sekalian bisa menjelajahi kabupaten Ende di waktu senggang dan sering
bersilaturrahmi dengan teman-teman yang berpenempatan di kecamatan tetangga,
sehingga tidak heran kami sering berkumpul di hari-hari libur sekolah.
Selain di basecamp, saya juga memiliki orangtua angkat di
Pora. Di basecamp yang terletak di kota Ende saya dan teman-teman memiliki
orangtua angkat yang asli orang Minang sedangkan di penempatan saya memiliki
orangtua angkat asli orang Lio. Sejak awal kedatangan saya di penempatan beliau
selalu membantu dan menjaga saya walaupun kami tidak tinggal di rumah yang
sama. Beliau sangat bertanggungjawab dan baik sehingga saya merasa memiliki
keluarga baru di sini dan tidak heran jika saya bisa berbagi dan berkeluh kesah
kepada mereka tentang kejadian yang saya alami di sana.
Seminggu sebelum saya diberangkatkan pulang, sekolah
mengadakan perpisahan untuk kepergian saya. Acara perpisahannya diadakan dengan
sangat sederhana. Tanpa sepengetahuan saya, semua murid dan guru-guru
mengumpulkan uang untuk membelikan kenang-kenangan untuk saya. Saat acara
perpisahan, murid-murid membawa bekal bahan mentah dari rumah masing-masing
untuk dimasak di sekolah. Mereka membawa daun singkong, daun pepaya, ubi kayu
dan juga kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Pagi sekali, guru dan
murid sudah berkumpul di sekolah untuk mempersiapkan segala keperluan untuk
acara perpisahan. Saya juga ikut dalam kebersamaan memasak di dapur sekolah
yang dibangun seadanya.
Perasaan senang dan sedih bercampur aduk ketika acara
perpisahan berlangsung. Saya senang karena saya akan segera bertemu keluarga di
Padang sekaligus sedih meninggalkan teman-teman guru dan murid-murid yang telah
selama setahun bersama. Acara perpisahan berjalan dengan lancar yang diakhiri
dengan pemberian kenang-kenangan dari sekolah dan juga saya tak lupa memberi
kenang-kenangan untuk sekolah.
Acara perpisahan buat saya juga diadakan di mesjid. Acara
ini diadakan oleh Pak ustadz beserta semua warga muslim yang ada di kampung
tersebut. Warga dan saya bersama-sama memasak untuk kelancaran acara. Makanan
di acara perpisahan di mesjid agak lebih baik daripada acara di sekolah karena
warga juga menyediakan ikan dan ayam dan yang spesialnya adalah gulai nangka
yang berasal dari tempat asal saya. Gulai nangka tersebut dimasak oleh ibu
angkat saya yang memiliki suami dari Padang yang kebetulan bisa memasak masakan
Padang. Di mesjid juga diadakan doa selamat untuk saya agar bisa kembali ke
Padang dengan selamat. Acara perpisahan diakhiri dengan foto bersama di depan
mesjid.
Perpisahan juga diadakan di basecamp kami di Ende. Acaranya
diadakan tepat sebelum kepulangan. Suasana perpisahan di basecamp sangat
berbeda dengan perpisahan sebelumnya, karena ini merupakan perpisahan 25 orang
dengan 3 orang pemilik rumah alias basecamp. Acara perpisahan diakhiri dengan
maaf-maafan dengan ayah dan ibu angkat.
Dan pada tanggal 26 Agustus 2015, tibalah saatnya saya dan
teman-teman untuk meninggalkan kota Ende beserta isinya. Airmata tak
terbendnung ketika petugas bandara mengumumkan keberangkatan kami, semua
kenangan dan pengalaman selama berada di Ende kembali terkenang. Ingin rasanya
untuk tidak berangkat tetapi kerinduan akan keluarga di Padang juga tak kalah
besarnya. Apa daya semua harus tetap berjalan sesuai rencana. Dan akhirnya
selamat tinggal Ende dan berharap suatu saat nanti saya dan teman-teman bisa
kembali ke sana.
Fitri Ramadhani, S.Pd
(15302004)
0 komentar:
Posting Komentar