29 Desember 2016

Published Desember 29, 2016 by with 0 comment

Sepintas Kehidupan di Tanah Flores



Sepintas Kehidupan di Tanah Flores
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi saya untuk tinggal di tempat yang jauh dari tanah kelahiran. Melalui SM3T, saya dapat menikmati perjalanan ke tanah Flores dan tinggal selama lebih kurang 1 tahun di Kabupaten Ende. Seusai prakondisi SM3T, saya beranjak pulang ke rumah untuk berpamitan dan mengemas barang-barang yang akan dibawa sebagai bekal tinggal di negeri orang. Satu keluarga ikut mengantarkan perjalanan saya di Bandara Internasional Padang. Sebelumnya saya belum pernah naik pesawat ke mana-mana dan sekali naik pesawat saya langsung naik 3 kali. Karena untuk mencapai Ende dari Padang kita harus transit dua kali. Saya beserta rekan SM3T lainnya bertolak dari BIM pada tanggal 28 Agustus 2014.
            Sesampai di Ende, saya dan rekan-rekan langsung menuju ke rumah orang tua angkat, yang telah menjadi orangtua angkat anak SM3T sejak angkatan kedua. Di sana kami beristirahat sebelum penentuan penempatan. Sehabis Dzuhur, kami langsung berkumpul di Dinas PPO untuk melihat hasil penempatan. Di siilah kami yang merupakan orang baru merasa deg-degan bagaimana dengan keadaan penempatan kami nanti. Seusai pembagian penempatan, saya dipanggil oleh senior SM3T dari Yogyakarta. Dia mengajak saya untuk meninjau penempatan saya yang merupakan tempat mengabdinya sebelumnya. Dia memindahkan posisi penempatan saya yang awalnya di Kota Baru menjadi Pora. Ini disebabkan oleh sekolah di Pora sangat membutuhkan guru Bahasa Inggris.
            Sebelum meninjau tempat, saya sangat merasa cemas akan seprti apakah lokasi penempatan saya. Sebelumnya saya telah sedikit bertanya-tanya tentang keadaan di sana. Saya menanyakan apakah di sana ada listrik, air dan signal. Dan jawabannya sangat memuaskan, di sana katanya sudah tersedia air bersih, listrik dan signalpun sudah ada.
SMPS Pancasila Pora merupakan sekolah yang belum memiliki akreditasi seperti sekolah-sekolah lain dan mepakan sekolah titipan yang berinduk ke SMPN 4 Wolowaru. Sekolah ini didirikan tepat pada hari Pancasila yakni 1 Juni 1970, makanya sekolah ini diberi nama SMPS Pancasila Pora.
            Sekolah ini hanya memiliki 2 Bangunan. Bangunan yang pertama memiliki 3 ruangan yang dipergunakan sebagai ruangan kelas untuk 48 siswa dan bangunan yang kedua memiliki satu ruangan yang digunakan sebagai kantor kepala sekolah, wakil kepala sekolah, 9 guru dan juga perpustakaan yang hanya dipisahkan oleh lemari-lemari tanpa dinding pembatas ruangan. Sedikitnya pembatas antara ruangan membuat tidak ada jarak antara kepala sekolah dan guru, sehingga suasana keakraban selalu terasa. 
            Murid-murid di sekolah ini tidak begitu banyak, hanya berjumlah 48 siswa yang terdiri dari 14 siswa kelas 1, 19 siswa kelas 2 dan 15 siswa kelas 3. Dengan sedikitnya jumlah siswa suasana belajar jadi lebih kondusif dan efektif. Murid-murid di sini sangat menghormati guru apalagi guru yang datang dari luar seperti saya. Tetapi mereka sangat takut dengan guru-guru yang asli dari sana yang mana mereka selalu membawa rotan atau sebilah kayu ke dalam kelas. Rotan atau kayu ini digunakan tidak lain tidak bukan adalah untuk memukul siswa-siswa yang berbuat salah. Dan tidak jarang juga saya melihat seorang guru memukul murid dengan tangan kosong.
Di sini saya tinggal di rumah warga. Rumah tempat saya tinggal selama mengabdi berada dekat dengan sekolah, tepat di seberang sekolah. Tiga bulan pertama saya tinggal dengan seorang bibi yang perawan tua. Setelah tiga bulan datanglah seorang bibi lagi dari kalimantan. Saya merasa nyaman tinggal di rumah ini, karena saya masih bisa menikmati air dan listrik dengan mudah. Tetapi sayangnya kedua bibi ini tidak begitu cocok sehingga saya agak susah untuk menyatukan mereka.
Tempat saya tinggal berada sekitar 76 km dari ibukota kabupaten dan 3 km dari ibukota kecamatan. Akses ke sana agak sulit dikarenakan kurangnya angkutan umum. Kebanyakan warga sering menyewa jasa ojek untuk mencapai ibukota kecamatan. Akibat jalan yang berlubang-lubang dan medan yang mendaki menurun menyebabkan perjalanN yang normalnya bisa di tempuh dengan waktu 8 menit bisa menjadi 15 menit atau lebih.
Karena sulitnya alat transportasi, saya dan salah seorang teman yang ditempatkan ditempat yang sama sepakat untuk membeli sepeda motor. Kami memutuskan membeli sepeda motor bekas sebagai alat transportasi kami selama berada di wilayah 3T. Alhamdulillah dengan sepeda motor bekas itu kami jadi lebih terbantu untuk ke pasar membeli kebutuhan sehari-hari dan kami sekalian bisa menjelajahi kabupaten Ende di waktu senggang dan sering bersilaturrahmi dengan teman-teman yang berpenempatan di kecamatan tetangga, sehingga tidak heran kami sering berkumpul di hari-hari libur sekolah.
Selain di basecamp, saya juga memiliki orangtua angkat di Pora. Di basecamp yang terletak di kota Ende saya dan teman-teman memiliki orangtua angkat yang asli orang Minang sedangkan di penempatan saya memiliki orangtua angkat asli orang Lio. Sejak awal kedatangan saya di penempatan beliau selalu membantu dan menjaga saya walaupun kami tidak tinggal di rumah yang sama. Beliau sangat bertanggungjawab dan baik sehingga saya merasa memiliki keluarga baru di sini dan tidak heran jika saya bisa berbagi dan berkeluh kesah kepada mereka tentang kejadian yang saya alami di sana.
Seminggu sebelum saya diberangkatkan pulang, sekolah mengadakan perpisahan untuk kepergian saya. Acara perpisahannya diadakan dengan sangat sederhana. Tanpa sepengetahuan saya, semua murid dan guru-guru mengumpulkan uang untuk membelikan kenang-kenangan untuk saya. Saat acara perpisahan, murid-murid membawa bekal bahan mentah dari rumah masing-masing untuk dimasak di sekolah. Mereka membawa daun singkong, daun pepaya, ubi kayu dan juga kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Pagi sekali, guru dan murid sudah berkumpul di sekolah untuk mempersiapkan segala keperluan untuk acara perpisahan. Saya juga ikut dalam kebersamaan memasak di dapur sekolah yang dibangun seadanya.
Perasaan senang dan sedih bercampur aduk ketika acara perpisahan berlangsung. Saya senang karena saya akan segera bertemu keluarga di Padang sekaligus sedih meninggalkan teman-teman guru dan murid-murid yang telah selama setahun bersama. Acara perpisahan berjalan dengan lancar yang diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan dari sekolah dan juga saya tak lupa memberi kenang-kenangan untuk sekolah.
Acara perpisahan buat saya juga diadakan di mesjid. Acara ini diadakan oleh Pak ustadz beserta semua warga muslim yang ada di kampung tersebut. Warga dan saya bersama-sama memasak untuk kelancaran acara. Makanan di acara perpisahan di mesjid agak lebih baik daripada acara di sekolah karena warga juga menyediakan ikan dan ayam dan yang spesialnya adalah gulai nangka yang berasal dari tempat asal saya. Gulai nangka tersebut dimasak oleh ibu angkat saya yang memiliki suami dari Padang yang kebetulan bisa memasak masakan Padang. Di mesjid juga diadakan doa selamat untuk saya agar bisa kembali ke Padang dengan selamat. Acara perpisahan diakhiri dengan foto bersama di depan mesjid.
Perpisahan juga diadakan di basecamp kami di Ende. Acaranya diadakan tepat sebelum kepulangan. Suasana perpisahan di basecamp sangat berbeda dengan perpisahan sebelumnya, karena ini merupakan perpisahan 25 orang dengan 3 orang pemilik rumah alias basecamp. Acara perpisahan diakhiri dengan maaf-maafan dengan ayah dan ibu angkat.
Dan pada tanggal 26 Agustus 2015, tibalah saatnya saya dan teman-teman untuk meninggalkan kota Ende beserta isinya. Airmata tak terbendnung ketika petugas bandara mengumumkan keberangkatan kami, semua kenangan dan pengalaman selama berada di Ende kembali terkenang. Ingin rasanya untuk tidak berangkat tetapi kerinduan akan keluarga di Padang juga tak kalah besarnya. Apa daya semua harus tetap berjalan sesuai rencana. Dan akhirnya selamat tinggal Ende dan berharap suatu saat nanti saya dan teman-teman bisa kembali ke sana.
Fitri Ramadhani, S.Pd (15302004)
    email this

0 komentar:

Posting Komentar