28 Desember 2016

Published Desember 28, 2016 by

NEGERI TOLERANSI TANPA BATAS

Testimoni Nusa Tenggara Timur


Program SM3T telah saya ketahui dari kakak saya.  ketertarikan saya berawal dari dorongan dan motivasi kakak saya yang telah lebih dahulu mengikuti program ini. Prospek mengikuti PPG dengan gratis menjadi prioritas utama saya, serta adanya segudang pengalaman yang menanti di tempat pengabdian. Niat mengabdi menjadi membara ketika saya lolos tes Online. Wawancara yang saya ikuti membuat saya yakin untuk memilih jalan ini. Karena pemerintah tak mungkin sia-sia dalam membuat sebuah program. Setelah di nyatakan lulus dari tes wawancara saya mengambil keputusan untuk berhenti bekerja di sebuah perusahaan pembiayaan. Saya yakinkan diri untuk melanjutkan karier dengan mengikuti program SM3T.
Setelah menyelesaikan berkas-berkas yang dibutuhkan saya mengikuti Prakondisi selama 14 hari, prakondisi ini terbagi dalam dua bagian. 7 hari indoor dan 7 hari outdoor. Pada saat itulah  saya mendapatkan sosialisasi secara umum mengenai tujuan pelaksanaan SM3T. Pada waktu pelaksanaan SM3T inilah seluruh peserta diperkenankan untuk memilih penempatan atau propinsi sasaran 3T sesuai dengan quota yang telah ditetapkan. Saya memutuskan untuk memilih kabupaten Ende NTT, karena telah banyak cerita dan pengalaman yang kakak saya bagikan kepada saya.
Akhir agustus 2016 Pembekalan prakondisi akhirnya selesei dan saya bersama rombongan satu penempatan sebanyak 25 orang di berangkatkan menuju Kabupaten Ende . Ini merupakan erjalanan awal saya dengan sebuah pesawat. Saya bersama rombongan sangat antusias sambil membayangkan tempat yang akan saya tuju. Dalam perjalanan 2 hari 1 malam sampailah saya bersama rombongan di kabupaten Ende. Dari atas pesawat saya sedikit gemetar melihat tatanan perbukitan gersang yang yang di suguhkan kabupaten ende. Penuh bukit-bukit tandus, dan desa-desa yang kelihatan banyak di atas bukit. Setelah landing bayangan itu sedikit sirna, karena banyak orang-orang yang saya lihat sudah cukup maju menunggu penumpang bandara. Kamipun di sambut oleh SM3T angkatan 3 dan di antar langsung ke rumah orang tua angkat di Ende. Dalam perjalanan menuju rumah orang tua angkat tersebut senior SM3T ini pun menceritakan pengalamannya selama di tempatkan di kabupaten Ende. Pertanyaan-pertanyaan pun mengalir dari mulut kami sebagai penerus pengabdian mereka.
Setelah sampai di rumah orang tua angkat, kamipun sedikit melepas penat dan segera bersiap untuk pertemuan dengan dinas Kabupaten Ende mengenai penempatan. Kamipun akhirnya berkumpul di Dinas PPO ende untuk pelepasan SM3T angkatan III serta penyambutan kami SM3T angkatan IV. Dengan segera akhirnya penempatan kamipun kami ketahui. Dan saya di tempatkan di SMPN Satap Detubelo Watuneso Kec. Lio Timur. Keesokan harinya kami menghadiri penyambutan dan pelepasan SM3T di kantor Bupati. Setelah selesei mengikuti acara tersebut kami keesokan harinya pergi ke danau kelimutu sebagai hadiah penyambutan kami dari Bapak Bupati. Keindahan alam ende pun yang terkenal dengan danau tiga warna atau di sebut danau kelimutu pun kami nikmati.
Keesokan harinya barulah jantung kami muali berdegup kencang karena akan di berangkatkan ke tempat pengabdian. Pikiran saya jauh berkelana tentang apa yang aka saya hadapi di penempatan saya. Di terminal pemberhentian Bus, saya dan teman satu penempatan saya menunggu Bapak Kepala Sekolah SMP penempatan saya. tak lama menunggu bapak Kepsek penemptan saya pun datang, dan mualai lah saya sedikit berkenalan dan bercengkrama tentang keadaan sekolah di sana. Saya senang dengan sambutan Kepala Sekolah terhadap kami. Saya kemudian memulai perjalanan dengan motor bapak Kepala Sekolah menuju penempatan. Setelah sampai di desa tujuan saya pun langsung di carikan Kos untuk menetap selama pengabdian.
Waktu terasa cepat berlalu dan akhirnya saya di tinggal kepala sekolah bersama satu teman penempatan. Dan di malam pertama di penempatan kami jalani dengan keramahan mama yang memiliki Kos-kosan. Saya tinggal di rumah warga yang beragama Khatolik. Saya sedikit kurang terbiasa dan sedikit merasa terganggu akibat aktifitas hewan peliharaannya. Agar tidak merusak hubungan baik dengan mama kos saya putuskan untuk pindah ke kampung muslim yang tidak jauh dari rumah mama tersebut. Mama sofie namanya, terlihat sedih melepas kepindahan kami. Di lelu saya tingal di rumah warga bersama 4 teman SM3T dan seorang siswa SMA yang merupakan pemilik kontrakan. Dari 4 orang SM3T tersebut 3 orang merupakan teman SM3T dari LPTK UNES yang di tempatkan di SMA di kecamatan Lio Timur dan 1 orang dari LPTK yang sama dengan saya dan juga di tempatkan di tempat yang sama.
Karena sulitnya alat transportasi, saya dan teman sepenempatan sepakat untuk membeli sepeda motor. Kami memutuskan membeli sepeda motor bekas sebagai alat transportasi kami selama berada di wilayah 3T. Alhamdulillah dengan sepeda motor bekas itu kami jadi lebih terbantu untuk ke pasar membeli kebutuhan sehari-hari dan kami sekalian bisa menjelajahi kabupaten Ende di waktu senggang dan sering bersilaturrahmi dengan teman-teman yang berpenempatan di kecamatan tetangga, sehingga tidak heran kami sering berkumpul di hari-hari libur sekolah.
Selain di basecamp, saya juga memiliki orangtua angkat di Paga. Di basecamp yang terletak di kota Ende saya dan teman-teman memiliki orangtua angkat yang asli orang Minang sedangkan di penempatan saya memiliki orangtua angkat asli orang Lio. Dan orang tua angkat di paga ini saya dapatkan ketika masih mencari motor bekas untuk alat transportasi saya ke sekolah. Orang tua angkat yang baru kenal satu hari ini pun dengan ikhlas meluangkan waktunya ke kabupaten Maumere untuk mencarikan saya motor bekas. Beliau penuh keikhlasan dan kasihan menolong saya, karena beliau tahu dari tempat tinggal saya ke sekolah cukup jauh.
Awal sekolah pun kami mulai dengan perkenalan dengan Guru-guru serta siswa SMPN Satap Detubelo. Sambutan hangat pun kami terima. Dan lagi saya terkesan akan toleransi di Kabupaten ini. Banyak hal yang bisa di ambil selama bertugas menjadi guru SM-3T di sini. Di samping menikmati pemandangannya yang eksotis juga penduduknya yang ramah-tamah. Saya sangat senang di tempatkan di sini, toleransi yang tinggi membuat perbedaan menjadi tidak terasa. Namun Pendidikan disini agak membuat saya terkejut. Di penempatan saya di suguhkan dengan cara mengajar yang bisa di bilang melanggar HAM, namun guru-guru di sini menerangkan bahwa hal tersebut harus di lakukan di sini, karena karakter timur yang memang keras. Namun saya menilai hal itu seharusnya tidak terjadi melihat anak-anak yang juga tidak terlalu nakal. Dalam hal mengajar PJOK saya terhambat oleh sarana dan prasarana yang sangat minim. Dengan ketiadaan lapangan olahraga saya harus menggunakan jalan untuk tempat pengganti lapangan, namun karena adanya kepedulian dari kepala sekolah dalam melihat saya mengajar di jalanan, kepala sekolah dan guru-guru serta siswa pada semester II membuatkan sebuah lapangan agar proses pembelajaran PJOK berjalan lancar.
Ende, di sini saya mengerti arti sebuah toleransi. Orang-orang dengan perbedaan-perbedaan yang ada menyatu tanpa perpecahan. Tak salah  kota ini disebut sebagai tempat lahirnya pancasila. Karena begitu kentara toleransi tanpa batas dari masyarakat yang memang berbeda. Tak pernah sekalipun kehidupan beragama saya terganggu atau terusik ketika bergabung dengan masyarakat yang mayoritas di sekolah saya adalah katholik. Mereka menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Di setiap hari jumat saya selalu di suruh oleh guru-guru di sekolah untuk lebih cepat pulang dari pada hari biasa untuk menunaikan solat jumat.
Selama saya bertugas dan mengabdi banyak pengalaman yang saya dapatkan. Masyarakat di sini sangat ramah dan bersahabat. Pepatah mengatakan jangan pernah melihat buku dari covernya. Di sini saya paham arti dari pepatah tersebut. Di sini saya banyak bertemu dengan orang-orang yang dalam pandangan mata saya seorang preman. Tindik di mana-mana, tato seluruh badan lubang telinga sebesar kelingking namun saya tak menyangka dengan sopan mereka memanggil saya pak guru. Dan suatu ketika ban motor saya bocor tak sungkan mereka membantu untuk mencarikan bengkel. Sungguh ironi dengan mereka para pejabat berdasi yang selalu berjuang untuk kepuasan mereka tanpa memikirkan hak orang-orang yang telah mereka ambil. Ini Indonesia, ende juga bagian Indonesia. Mereka selalu berkata pendidikan hanya untuk orang barat, untuk timur Indonesia pendidikan hanya apa adanya. Sedih hati mendengar keluhan mereka, namun nyata perbedaan ini terasa.
Perpisahan dengan kabupaten ini semakin dekat, acara perpisahan yang saya jalani sangat membuat saya terharu karena tidak hanya di sekolah, di rumah lingkungan tempat tinggal saya pun tak luput dari acara dengan warga untuk melepas kepergian saya dan teman-teman satu tempat tinggal. Saya sangat bersyukur telah di tempatkan di Kabupaten ini. Sejuta kenangan telah terukir dalam sanubari. Akan selalu terkenang meski telah jauh di mata.
    email this