Fly high in front of traditional house of waerebo |
Perjalanan ende – manggarai
30 – 31 desember 2014.
Atas kesepakatan bersama sm3t ende angkatan 4 LPTK UNP
SM3T ENDE 4 UNP |
kami mengadakan jalan jalan ke wae
rebo yang terletak di kabupaten Manggarai masih di pulau flores. Berangat
setelah sholat zuhur menggunakan DAMRI yang kami sewa selama 4 hari perjalanan.
Tidak mudah untuk menemukan lokasi ini karena kami membutuhkan beberapa hari
untuk mencapai negeri di atas awan tersebut. sopir yang juga tidak tahu pasti
jalannya membuat kami harus tersesat beberapa kali. Bertemu orang orang mabuk
di jalanan ruteng tengah malam sampai menemukan jembatan yang menghubungkan jalan berukuran
kecil dini hari dan sebelum tersesat
lebih jauh kami menginap di areal tersebut sembari menunggu pagi datang
menjelang. Da tidur sembari duduk di bangku damri yang mebuat badan ini penat tak karuan.
Teman2 yang lain tidur beralaskan tikar seadanya di lantai dan kolong2 bangku
bus damri. Da sebenarnya kesulitan untuk memejamkan mata dan seringkali
terbangun oleh suara sekecil apapun. Kejadian dini hari yang da ingat ketika
rian mengambil air di dalam gallon dimana gallon tersebut persedian minum kami
untuk keperluan BAB nya yang dipermasalahkan oleh hampir semua teman2. Pagi
yang masih berselimut kabut, teman2 mulai bergerak mencari rumah warga untuk
sekedar mencuci muka. Pemilik warung berbaik hati menumpangkan kami dirumahnya
sehingga antrian kamar mandi tak terelakan lagi. Sembari antri mama yang
mempunyai warung merebus mie yang dipesan oleh beberapa orang dan da pun ikut
memesan yang kemudian dibayar oleh imel. Beliau juga menunjukan arah yang harus
kami lalui untuk menemukan waerebo.
Siang yang cerah bus pun bergerilya di jalanan yang sempit
berkelok kelok dan menuruni perbukitan menuju arah pantai. Masih terasa jauh
jalan yang ditempuh karena kami buta akan daerah yang kami tuju. Sekitar jam 3
sore kami berhenti di dekat pantai dimana masyarakatnya mayoritas muslim. Beliau
menyuruh kami untuk istirahat di rumahnya terlebih dahulu karena perjalanan
yang ditempuh masih jauh. Kami se isi oto belum menganjal perut dimana waktu
makan siang yang sudah berlalu. Anak anak memutuskan memasak mie rebus di rumah
warga tersebut yang berbaik hati meminjamkan peralatan memasak dan peralatan
makan lainnya. Setelah makan hujan turun cukup lebat, tuan rumah menyuruh kami
menunda perjalanan dan berangkat saja besok. Berunding cukup lama kami pun
melanjutkan perjalanan setelah hujan mulai reda.
Bersama Bapak Blasius yang sedang memberi wejangan |
Berbekal petunjuk demi petunjuk dari warga yang kami temui
akhirnya sampai juga di desa terakhir yang bisa ditempuh oleh bus.
Alhamdulillah kami sampai di DENGE ketika senja mulai menjelang. Langit masih
terlihat mendung dan pemilik penginapan menyarankan kami untuk bermalam di
denge. Bapak Blasius adalah pemilik penginapan yang merupakan keturunan waerebo
yang “turun gunung”. Beliau hanya sesekali naik ke waerebo jika ada upacara
adat. Pekerjaanya sebagai guru di sdk denge mengharuskannya menetap di denge
sekaligus sebagai duta wisata perkampungan adat waerebo.
Bocah-bocah Waerebo |
Kami berencana melalui tahun baru di waerebo tetapi berhubung hari sudah malam tidak ada guide
yang akan memandu perjalanan kami. Bahkan setelah kami menyewa semua kamar masih
ada beberapa mahasiswa dari Jakarta yang juga ingin menginap di tempat yang
merupakan satu satunya penginapan yang tersedia di denge. Akhirnya ada warga
yang mau menampung mereka di rumah sederhananya yang tanpa lampu. Sedangkan
kami cukup beruntung dapat penerangan dari genset sampai jam 10 malam. Semua
sudah terlelap dengan cepat karena kelelahan setelah perjalanan lebih kurang
dua hari tanpa kualitas tidur yang nyaman. Malam pergantian tahun berlalu di
dalam mimpi kami masing masing. Tanpa listrik dan tanpa sinyal memaksa kami
tidur lebih awal untuk trecking besok pagi.
Awal Tahun baru 2015
Irman menggedor semua pintu kamar teman teman yang terlelap
dalam mimpi masing masing. Janji yang semula bangun jam 3 pagi selalu berujung
menjadi jam setengah enam. Bapak Blasius memberi wejangan apa -apa yang harus
kami lakukan selama perjalanan hari ini karena perkampungan adat waerebo masih
memegang nilai nilai leluhur mereka yang masih berbau mistik. Berbekal tekad
yang kuat kami mulai berangkat dipagi awal tahun.
Posko pertama trecking |
Walaupun da sakit flu
semenjak sehari sebelum natal da tetap semangat untuk berjalan mendaki kurang
lebih 9 km. pendakian kami dipimpin oleh seorang bapak yang berumur sekitar 50
an tahun. Dua km di awal kami melalui jalan yang diberi bebatuan sehingga
perjalanan belum terasa melelahkan. Tetapi setelah di km tiga kami mulai
memasuki jalanan setapak di dalam hutan sehingga mulai terbentuk kelompok
kelompok kecil yang berjalan beriringan. Dan mereka yang dengan semangat 45
berada di rombongan terdepan. Kami
melalui jalanan dengan bernyanyi bersama, menyambung kata demi kata lirik dalam
sebuah lagu bergantian orang demi orang
sehingga membuat perjalanan terasa ringan dan menyenangkan.
awal pendakian |
Satu kilo meter menjelang perkampungan tersebut kami sudah
diwanti wanti untuk tidak mengambil gambar dengan kamera.
posko kedua trecking |
Kami mulai banyak
diam merasakan aura yang mulai terasa mistis.Kami akhirnya sampai di sebuah
pondok dan berkumpul bersama sebelum benar benar memasuki waaerebo. Bapak yang
memandu kami kembali mengingatkan kami akan peraturan yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Bapak tersebut mulai membunyikan sesuatu berupa alat yang
mengeluarkan bunyian seolah olah mengirim pesan ke dalam kampung bahwa ada tamu
yang datang berkunjung.
Jalan Masuk ke Waerebo |
Setelah mengirim bebunyian beberapa kali kami kembali
menuruni perbukitan yang sudah didominasi oleh perkebunan kopi. Kami berkumpul
di gerbang utama menunggu semua datang berkumpul dan masuk bersama-sama. Saat
itu di dalam hati da ingin bersorak melihat sekitar 7 buah rumah adat berbentuk
kerucut (Mbaru Niang) berukuran raksasa
terpampang dihadapan kami. Konon 17 abad silam perantau Minangkabau lah yang
mendirikan perkampungan ini, seolah-olah kami merasakan jiwa para leluhur
menyambut kedatangan kami. Gerimis menemani perjalanan kami memasuki rumah
utama untuk mulai berdoa kepada leluhur sesuai kepercayaan mereka. Bapak yang
memandu kami berbicara dalam bahasa yang pasti tidak kami mengerti dengan
seorang kepala adat.
Dalam Perjalanan menuju waerebo |
Ketua adat berbicara sendiri mengeluarkan mantra mantra untuk
leluhur. Setelah acara sembahyang dalam kepercayaan waerebo barulah kami
diperkenankan untuk mengambil foto diberbagai tempat. Merasa takjub dengan
keindahan perkampungan ini serasa benar benar di atas awan. Gerimis sudah reda
dari tadi sehingga menambah semangat kami untuk berfoto sampai tak tahu waktu.
Sekitar dua jaman berfoto baik itu sendiri sendiri, berkelompok dan tak lupa berdualima dengan
latar ketujuah rumah utama yang berbentuk kerucut tersebut serta bersama ketua
adatnya.
di dalam mbaru niang |
Kami dipanggil kembali untuk makan di rumah utama dengan menu nasi,
telur dadar, sayur japan plus cabenya yang ekstra pedas tingkat tinggi yang
mebuat kepala da berdenging. Air pegunungan yang benar benar terasa menyegarkan
melalui tenggorokan menambah nikmat makan kami siang itu. Untuk menikmati menu
special ini kami harus mebayar masing masing 100 ribu per orang. Hal ini bisa
dimaklumi karena untuk membeli bahan makanan tersebut mereka harus menempuh
jalan sampai 18 km untuk bolak balik menempuh kampung terdekat.
Warga yang da temui terlihat jauh dari wajah flores. Mereka
mempunyai kulit yang lebih cerah serta wajah yang da yakini lebih dekat ke arah
minangkabau daripada wajah flores yang keras. Da dan tuti berkunjung ke dapur
mereka yang terletak di tengah2 kerucut mbaru niang. Bercerita bersama para
mama tentang betapa bahagianya kami memiliki leluhur yang sama. Sama halnya
menemukan rumah makan padang di negeri ini, bisa bercengkrama dengan keturunan para
leluhur minangkabau berabad abad silam yang tersembunyi di dalam hutan
belantara tanah flores merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa yang membuat
kami merinding sesaat. Kami merasa bangga telah mengunjungi negeri yang sudah
mendunia ini.
Dapur Mbaru Niang |
Pintu masuk Mbaru Niang |
Perkampungan adat waerebo ini lebih dulu mendunia karena lebih
dulu dikunjungi oleh turis mancanegara yang mereka temukan melalui goegle map
sehingga tempat ini sudah diakui oleh UNESCO sebagai situs dunia yang harus
dilindungi dari kepunahan. Mbaru niang ini sudah mengalami renovasi untuk
mempertahankan 7 buah rumah utama tersebut setelah semakin banyaknya kunjungan
dari dalam maupun luar negeri yang menjadi asset dalam pengumpulan dana.
jembatan bambu menuju waerebo |
0 komentar:
Posting Komentar