14 Desember 2015

Published Desember 14, 2015 by with 0 comment

Waerebo : Perantau Minangkabau di Bumi Flores



Fly high in front of traditional house of waerebo


Perjalanan ende – manggarai

30 – 31 desember 2014.

Atas kesepakatan bersama sm3t ende angkatan  4 LPTK UNP

SM3T ENDE 4 UNP

kami mengadakan jalan jalan ke wae rebo yang terletak di kabupaten Manggarai masih di pulau flores. Berangat setelah sholat zuhur menggunakan DAMRI yang kami sewa selama 4 hari perjalanan. Tidak mudah untuk menemukan lokasi ini karena kami membutuhkan beberapa hari untuk mencapai negeri di atas awan tersebut. sopir yang juga tidak tahu pasti jalannya membuat kami harus tersesat beberapa kali. Bertemu orang orang mabuk di jalanan ruteng tengah malam sampai menemukan  jembatan yang menghubungkan jalan berukuran kecil dini hari dan  sebelum tersesat lebih jauh kami menginap di areal tersebut sembari menunggu pagi datang menjelang. Da tidur sembari duduk di bangku damri  yang mebuat badan ini penat tak karuan. Teman2 yang lain tidur beralaskan tikar seadanya di lantai dan kolong2 bangku bus damri. Da sebenarnya kesulitan untuk memejamkan mata dan seringkali terbangun oleh suara sekecil apapun. Kejadian dini hari yang da ingat ketika rian mengambil air di dalam gallon dimana gallon tersebut persedian minum kami untuk keperluan BAB nya yang dipermasalahkan oleh hampir semua teman2. Pagi yang masih berselimut kabut, teman2 mulai bergerak mencari rumah warga untuk sekedar mencuci muka. Pemilik warung berbaik hati menumpangkan kami dirumahnya sehingga antrian kamar mandi tak terelakan lagi. Sembari antri mama yang mempunyai warung merebus mie yang dipesan oleh beberapa orang dan da pun ikut memesan yang kemudian dibayar oleh imel. Beliau juga menunjukan arah yang harus kami lalui untuk menemukan waerebo.



Siang yang cerah bus pun bergerilya di jalanan yang sempit berkelok kelok dan menuruni perbukitan menuju arah pantai. Masih terasa jauh jalan yang ditempuh karena kami buta akan daerah yang kami tuju. Sekitar jam 3 sore kami berhenti di dekat pantai dimana masyarakatnya mayoritas muslim. Beliau menyuruh kami untuk istirahat di rumahnya terlebih dahulu karena perjalanan yang ditempuh masih jauh. Kami se isi oto belum menganjal perut dimana waktu makan siang yang sudah berlalu. Anak anak memutuskan memasak mie rebus di rumah warga tersebut yang berbaik hati meminjamkan peralatan memasak dan peralatan makan lainnya. Setelah makan hujan turun cukup lebat, tuan rumah menyuruh kami menunda perjalanan dan berangkat saja besok. Berunding cukup lama kami pun melanjutkan perjalanan setelah hujan mulai reda.


Bersama Bapak Blasius yang sedang memberi wejangan

Berbekal petunjuk demi petunjuk dari warga yang kami temui akhirnya sampai juga di desa terakhir yang bisa ditempuh oleh bus. Alhamdulillah kami sampai di DENGE ketika senja mulai menjelang. Langit masih terlihat mendung dan pemilik penginapan menyarankan kami untuk bermalam di denge. Bapak Blasius adalah pemilik penginapan yang merupakan keturunan waerebo yang “turun gunung”. Beliau hanya sesekali naik ke waerebo jika ada upacara adat. Pekerjaanya sebagai guru di sdk denge mengharuskannya menetap di denge sekaligus sebagai duta wisata perkampungan adat waerebo. 


Bocah-bocah Waerebo

Kami berencana melalui tahun baru di waerebo tetapi  berhubung hari sudah malam tidak ada guide yang akan memandu perjalanan kami. Bahkan setelah kami menyewa semua kamar masih ada beberapa mahasiswa dari Jakarta yang juga ingin menginap di tempat yang merupakan satu satunya penginapan yang tersedia di denge. Akhirnya ada warga yang mau menampung mereka di rumah sederhananya yang tanpa lampu. Sedangkan kami cukup beruntung dapat penerangan dari genset sampai jam 10 malam. Semua sudah terlelap dengan cepat karena kelelahan setelah perjalanan lebih kurang dua hari tanpa kualitas tidur yang nyaman. Malam pergantian tahun berlalu di dalam mimpi kami masing masing. Tanpa listrik dan tanpa sinyal memaksa kami tidur lebih awal untuk trecking besok pagi.

Awal Tahun baru 2015

Irman menggedor semua pintu kamar teman teman yang terlelap dalam mimpi masing masing. Janji yang semula bangun jam 3 pagi selalu berujung menjadi jam setengah enam. Bapak Blasius memberi wejangan apa -apa yang harus kami lakukan selama perjalanan hari ini karena perkampungan adat waerebo masih memegang nilai nilai leluhur mereka yang masih berbau mistik. Berbekal tekad yang kuat kami mulai berangkat dipagi awal tahun.

Posko pertama trecking

Walaupun da sakit flu semenjak sehari sebelum natal da tetap semangat untuk berjalan mendaki kurang lebih 9 km. pendakian kami dipimpin oleh seorang bapak yang berumur sekitar 50 an tahun. Dua km di awal kami melalui jalan yang diberi bebatuan sehingga perjalanan belum terasa melelahkan. Tetapi setelah di km tiga kami mulai memasuki jalanan setapak di dalam hutan sehingga mulai terbentuk kelompok kelompok kecil yang berjalan beriringan. Dan mereka yang dengan semangat 45 berada di  rombongan terdepan. Kami melalui jalanan dengan bernyanyi bersama, menyambung kata demi kata lirik dalam sebuah lagu  bergantian orang demi orang sehingga membuat perjalanan terasa ringan dan menyenangkan.


awal pendakian

Satu kilo meter menjelang perkampungan tersebut kami sudah diwanti wanti untuk tidak mengambil gambar dengan kamera.

posko kedua trecking

Kami mulai banyak diam merasakan aura yang mulai terasa mistis.Kami akhirnya sampai di sebuah pondok dan berkumpul bersama sebelum benar benar memasuki waaerebo. Bapak yang memandu kami kembali mengingatkan kami akan peraturan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Bapak tersebut mulai membunyikan sesuatu berupa alat yang mengeluarkan bunyian seolah olah mengirim pesan ke dalam kampung bahwa ada tamu yang datang berkunjung.

Jalan Masuk ke Waerebo

Setelah mengirim bebunyian beberapa kali kami kembali menuruni perbukitan yang sudah didominasi oleh perkebunan kopi. Kami berkumpul di gerbang utama menunggu semua datang berkumpul dan masuk bersama-sama. Saat itu di dalam hati da ingin bersorak melihat sekitar 7 buah rumah adat berbentuk kerucut  (Mbaru Niang) berukuran raksasa terpampang dihadapan kami. Konon 17 abad silam perantau Minangkabau lah yang mendirikan perkampungan ini, seolah-olah kami merasakan jiwa para leluhur menyambut kedatangan kami. Gerimis menemani perjalanan kami memasuki rumah utama untuk mulai berdoa kepada leluhur sesuai kepercayaan mereka. Bapak yang memandu kami berbicara dalam bahasa yang pasti tidak kami mengerti dengan seorang kepala adat.


Dalam Perjalanan menuju waerebo

Ketua adat berbicara sendiri mengeluarkan mantra mantra untuk leluhur. Setelah acara sembahyang dalam kepercayaan waerebo barulah kami diperkenankan untuk mengambil foto diberbagai tempat. Merasa takjub dengan keindahan perkampungan ini serasa benar benar di atas awan. Gerimis sudah reda dari tadi sehingga menambah semangat kami untuk berfoto sampai tak tahu waktu. Sekitar dua jaman berfoto baik itu sendiri sendiri,  berkelompok dan tak lupa berdualima dengan latar ketujuah rumah utama yang berbentuk kerucut tersebut serta bersama ketua adatnya.

di dalam mbaru niang

Kami dipanggil kembali untuk makan di rumah utama dengan menu nasi, telur dadar, sayur japan plus cabenya yang ekstra pedas tingkat tinggi yang mebuat kepala da berdenging. Air pegunungan yang benar benar terasa menyegarkan melalui tenggorokan menambah nikmat makan kami siang itu. Untuk menikmati menu special ini kami harus mebayar masing masing 100 ribu per orang. Hal ini bisa dimaklumi karena untuk membeli bahan makanan tersebut mereka harus menempuh jalan sampai 18 km untuk bolak balik menempuh kampung terdekat.
Warga yang da temui terlihat jauh dari wajah flores. Mereka mempunyai kulit yang lebih cerah serta wajah yang da yakini lebih dekat ke arah minangkabau daripada wajah flores yang keras. Da dan tuti berkunjung ke dapur mereka yang terletak di tengah2 kerucut mbaru niang. Bercerita bersama para mama tentang betapa bahagianya kami memiliki leluhur yang sama. Sama halnya menemukan rumah makan padang di negeri ini, bisa bercengkrama dengan keturunan para leluhur minangkabau berabad abad silam yang tersembunyi di dalam hutan belantara tanah flores merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa yang membuat kami merinding sesaat. Kami merasa bangga telah mengunjungi negeri yang sudah mendunia ini.


Dapur Mbaru Niang


Pintu masuk Mbaru Niang
 Perkampungan adat waerebo ini lebih dulu mendunia karena lebih dulu dikunjungi oleh turis mancanegara yang mereka temukan melalui goegle map sehingga tempat ini sudah diakui oleh UNESCO sebagai situs dunia yang harus dilindungi dari kepunahan. Mbaru niang ini sudah mengalami renovasi untuk mempertahankan 7 buah rumah utama tersebut setelah semakin banyaknya kunjungan dari dalam maupun luar negeri yang menjadi asset dalam pengumpulan dana.


jembatan bambu menuju waerebo





    email this

0 komentar:

Posting Komentar