Empat hari setelah dirawat di rumah sakit, akhirnya
sayapun diperbolehkan pulang. Saya beristirahat di rumah orang tua angkat saya
di kota. Kebetulan waktu itu sekolah sudah selesai melaksanakan ujian semester
ganjil, sehingga saya tidak terlalu merasa terbebani ketika meninggalkan
sekolah. Setelah keluar dari rumah sakit, banyak teman-teman sesama SM3T dan guru-guru
di sekolah lain yang menyarankan agar saya pindah ke sekolah lain yang lebih
dekat aksesnya ke kota. Mereka mengatakan penyakit malaria bisa saja tiba-tiba
kambuh kembali. Bagaimana jika nanti setibanya di wologai dan situasi yang sama
terulang kembali.
Saya sangat heran kepada diri saya sendiri, sebanyak
itu saran yang menyuruh saya pindah, dan mereka bisa mencarikan sekolah baru
yang lebih dekat serta sudah memberi tahu kepala dinas pendidikan. Namun, hati
saya tetap menolak untuk pindah. Saya tahu dengan konsekuensi yang akan saya
terima jika penyakit saya kambuh kembali selama di wologai. Mungkin saja akan
lebih parah dari sebelumnya. Saya tahu itu. Tapi mengapa hati ini tidak mau
berkompromi. Saya tetap bersikukuh untuk tetap mengabdi di puncak gunung
wologai ini. Saya sudah terlalu cinta dengan siswa-siswa disana, masyarakat dan
lingkungan wologai. Mereka seperti sudah menyatu dengan saya, mungkin karena
itulah berat rasanya hati ini untuk berhenti di tengah jalan dan tidak
membimbing mereka sampai akhir. Saya hanya bisa berdo’a kepada Allah SWT,
mudah-mudahan sang khalik senantiasa melindungi dan melancarkan aktifitas saya
selama bertugas di wologai.
Liburan pun berakhir dan saya kembali ke wologai pada
awal januari 2015. Susasanya sudah sedikit berbeda. Hujan sudah mulai turun dan
rumput-rumput yang menguning sudah mulai memunculkan warna hijaunya. Saya
kembali beraktifitas seperti biasa. Setiap sore dan malam harinya saya
memberikan les tambahan kepada siswa kelas IX. Mereka terlihat semangat belajar
walaupun malam hari tidak ada penerangan. Kita hanya menggunakan lampu-lampu
seperti senter yang dicas dengan tenaga surya. Selama 4 bulan saya menemani
mereka belajar siang dan malam hari, sehingga tibalah bagi mereka semua untuk
mengikuti Ujian Nasional Tahun 2015. Salah satu anak yang paling dekat dengan
saya bernama “Ayu”, ia anak yang pintar dan baik. Dia selalu memperhatikan
kebutuhan saya setelah saya sakit. Jika tidak ada sayur, maka ia akan
mengambilkan saya sayur untuk dimasak. Begitupun dengan kebutuhan lainnya. Jika
ia melihat jerigen air saya kosong maka ia kan sega pergi ke sumber air dengan
membawa jerigen saya yang kosong tadi. Ayu berkata bahwa ia tidka mau lagi
melihat saya sakit. Ia tidak mau kehilangan guru satu-satunya yang selalu
membimbing dan memperhatikan mereka. Saya sangat terharu dengan apa yang ia
katakan, sampai air mata saya tidak terbendung lagi. Saya merangkul tubuh kecil
anak ni, dan merasakan kehangatan yang luar biasa. Sungguh saya telah menemukan
keluarga yang baru.
Ujian Nasional pun selesai dan seluruh siswa kelas IX
sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Perpisahan akan diadakan seminggu
setelahnya. Perpisahan di sekolah ini diadakan malam hari dengan penerangan
yang seadanya. Kenapa harus diadakan malam hari? Kenapa tidak siang hari? Ada
alasan tersendiri dibalik semua itu. Dengan mengadakan acara malam hari, maka
warga di sekitar sekolah juga akan mendapatkan penerangan karena genset akan
dipakai untuk menyalakan lampu. Selain itu, pada siang hari orang tua siswa
sibuk beraktifitas di kebun, maka akan sedikit diantara mereka nantinya yang
akan mengahdiri acara perpisahan ini. Perpisahan berlangsung dengan hikmat,
deraian air mata bertaburan pada wajah sayu mereka. Mereka memeluk kami gurunya
satu persatu, seakan tak mampu menahan sakit di dada. Mereka menggenggam tangan
ini kuat seakan tak mau terlepas. Begitulah acara tersebut berlangsung hingga
akhirnya baru ditutup dengan acara hiburan yang lainnya.
Tanpa terasa, masa pengabdian saya pun akan segera
berakhir. Setelah ujian semester, sebulan kemudian saya akan kembali ke padang.
Mereka mulai bertanya-tanya, “Ibu, kapan balik kepadang? Jangan balik lagi ko
ibu? Tinggal disini su ibu!” itulah beberapa kata yang saya dengar dari mulut
mereka. Setiap kami duduk dan bermain bersama, mereka akan selalu menanyakan
tentang waktu kepulangan saya ke padang. Mereka sungguh menghitung waktu yang
tersisa dengan kebersamaan kami. Begitu pula dengan saya yang rasanya sudah
sangat dekat dengan wologai dan masyarakatnya.
Begitulah wologai, tempat saya mengabdi selama satu tahun ini. Dengan segala kekurangan yang ada saya berusaha menjadikan
sekolah dan anak-anak disini menjadi lebih baik. Mereka saya pikir bukanlah anak-anak
yang bodoh, bukan orang tua yang mau menelantarkan sekolah anaknya. Tetapi mereka
hanya terkekang dengan keterbatasan yang ada di sekitar mereka. Akses dan
komunikasi yang kurang lancar dengan kota membuat mereka sedikit tertinggal.
Jalan yang jelek dan transportasi yang tidak lancar juga membuat desa wologai
ini sedikit kerepotan dalam mengurus semua administrasi dan keperluan ke kota.
Namun,
di luar itu semua, saya sebagai pendatang dari sumatera barat sangat bangga dan
senang berkesempatan untuk tinggal dan mengabdikan diri mendidik siswa-siswa
disini. Segala kemampuan yang saya miliki dengan segala keterbatasan yang ada
membuat saya terpanggil untuk mencerdaskan anak bangsa ini. Mereka yang 100 %
katolik, tidak sedikitpun menyinggung dan membedakan agama saya dan mereka. Toleransi
yang sangat tinggi antar umat beragama saya rasakan di desa ini. Disini, saya
memiliki keluarga baru, keluarga yang akan saya kenang selalu.
THE END
Gambling Commission: Is Casinos Any Good? - CBS News
BalasHapusCasinos 카라포커 for 코인카지노사이트 gambling in New Jersey are illegal 온라인카지노 순위 because 3 3 토토 they do not provide any type of gambling 배팅 incentive for patrons to deposit and withdraw