4 Januari 2017

Published Januari 04, 2017 by with 1 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian Akhir



Nusa Tenggara Timur
Empat hari setelah dirawat di rumah sakit, akhirnya sayapun diperbolehkan pulang. Saya beristirahat di rumah orang tua angkat saya di kota. Kebetulan waktu itu sekolah sudah selesai melaksanakan ujian semester ganjil, sehingga saya tidak terlalu merasa terbebani ketika meninggalkan sekolah. Setelah keluar dari rumah sakit, banyak teman-teman sesama SM3T dan guru-guru di sekolah lain yang menyarankan agar saya pindah ke sekolah lain yang lebih dekat aksesnya ke kota. Mereka mengatakan penyakit malaria bisa saja tiba-tiba kambuh kembali. Bagaimana jika nanti setibanya di wologai dan situasi yang sama terulang kembali.
Saya sangat heran kepada diri saya sendiri, sebanyak itu saran yang menyuruh saya pindah, dan mereka bisa mencarikan sekolah baru yang lebih dekat serta sudah memberi tahu kepala dinas pendidikan. Namun, hati saya tetap menolak untuk pindah. Saya tahu dengan konsekuensi yang akan saya terima jika penyakit saya kambuh kembali selama di wologai. Mungkin saja akan lebih parah dari sebelumnya. Saya tahu itu. Tapi mengapa hati ini tidak mau berkompromi. Saya tetap bersikukuh untuk tetap mengabdi di puncak gunung wologai ini. Saya sudah terlalu cinta dengan siswa-siswa disana, masyarakat dan lingkungan wologai. Mereka seperti sudah menyatu dengan saya, mungkin karena itulah berat rasanya hati ini untuk berhenti di tengah jalan dan tidak membimbing mereka sampai akhir. Saya hanya bisa berdo’a kepada Allah SWT, mudah-mudahan sang khalik senantiasa melindungi dan melancarkan aktifitas saya selama bertugas di wologai.

Liburan pun berakhir dan saya kembali ke wologai pada awal januari 2015. Susasanya sudah sedikit berbeda. Hujan sudah mulai turun dan rumput-rumput yang menguning sudah mulai memunculkan warna hijaunya. Saya kembali beraktifitas seperti biasa. Setiap sore dan malam harinya saya memberikan les tambahan kepada siswa kelas IX. Mereka terlihat semangat belajar walaupun malam hari tidak ada penerangan. Kita hanya menggunakan lampu-lampu seperti senter yang dicas dengan tenaga surya. Selama 4 bulan saya menemani mereka belajar siang dan malam hari, sehingga tibalah bagi mereka semua untuk mengikuti Ujian Nasional Tahun 2015. Salah satu anak yang paling dekat dengan saya bernama “Ayu”, ia anak yang pintar dan baik. Dia selalu memperhatikan kebutuhan saya setelah saya sakit. Jika tidak ada sayur, maka ia akan mengambilkan saya sayur untuk dimasak. Begitupun dengan kebutuhan lainnya. Jika ia melihat jerigen air saya kosong maka ia kan sega pergi ke sumber air dengan membawa jerigen saya yang kosong tadi. Ayu berkata bahwa ia tidka mau lagi melihat saya sakit. Ia tidak mau kehilangan guru satu-satunya yang selalu membimbing dan memperhatikan mereka. Saya sangat terharu dengan apa yang ia katakan, sampai air mata saya tidak terbendung lagi. Saya merangkul tubuh kecil anak ni, dan merasakan kehangatan yang luar biasa. Sungguh saya telah menemukan keluarga yang baru.

Ujian Nasional pun selesai dan seluruh siswa kelas IX sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Perpisahan akan diadakan seminggu setelahnya. Perpisahan di sekolah ini diadakan malam hari dengan penerangan yang seadanya. Kenapa harus diadakan malam hari? Kenapa tidak siang hari? Ada alasan tersendiri dibalik semua itu. Dengan mengadakan acara malam hari, maka warga di sekitar sekolah juga akan mendapatkan penerangan karena genset akan dipakai untuk menyalakan lampu. Selain itu, pada siang hari orang tua siswa sibuk beraktifitas di kebun, maka akan sedikit diantara mereka nantinya yang akan mengahdiri acara perpisahan ini. Perpisahan berlangsung dengan hikmat, deraian air mata bertaburan pada wajah sayu mereka. Mereka memeluk kami gurunya satu persatu, seakan tak mampu menahan sakit di dada. Mereka menggenggam tangan ini kuat seakan tak mau terlepas. Begitulah acara tersebut berlangsung hingga akhirnya baru ditutup dengan acara hiburan yang lainnya. 

Tanpa terasa, masa pengabdian saya pun akan segera berakhir. Setelah ujian semester, sebulan kemudian saya akan kembali ke padang. Mereka mulai bertanya-tanya, “Ibu, kapan balik kepadang? Jangan balik lagi ko ibu? Tinggal disini su ibu!” itulah beberapa kata yang saya dengar dari mulut mereka. Setiap kami duduk dan bermain bersama, mereka akan selalu menanyakan tentang waktu kepulangan saya ke padang. Mereka sungguh menghitung waktu yang tersisa dengan kebersamaan kami. Begitu pula dengan saya yang rasanya sudah sangat dekat dengan wologai dan masyarakatnya. 

Begitulah wologai, tempat saya mengabdi selama satu tahun ini. Dengan segala kekurangan yang ada saya berusaha menjadikan sekolah dan anak-anak disini menjadi lebih baik. Mereka saya pikir bukanlah anak-anak yang bodoh, bukan orang tua yang mau menelantarkan sekolah anaknya. Tetapi mereka hanya terkekang dengan keterbatasan yang ada di sekitar mereka. Akses dan komunikasi yang kurang lancar dengan kota membuat mereka sedikit tertinggal. Jalan yang jelek dan transportasi yang tidak lancar juga membuat desa wologai ini sedikit kerepotan dalam mengurus semua administrasi dan keperluan ke kota.
           
Namun, di luar itu semua, saya sebagai pendatang dari sumatera barat sangat bangga dan senang berkesempatan untuk tinggal dan mengabdikan diri mendidik siswa-siswa disini. Segala kemampuan yang saya miliki dengan segala keterbatasan yang ada membuat saya terpanggil untuk mencerdaskan anak bangsa ini. Mereka yang 100 % katolik, tidak sedikitpun menyinggung dan membedakan agama saya dan mereka. Toleransi yang sangat tinggi antar umat beragama saya rasakan di desa ini. Disini, saya memiliki keluarga baru, keluarga yang akan saya kenang selalu.

                                               
THE END


    email this

1 komentar:

  1. Gambling Commission: Is Casinos Any Good? - CBS News
    Casinos 카라포커 for 코인카지노사이트 gambling in New Jersey are illegal 온라인카지노 순위 because 3 3 토토 they do not provide any type of gambling 배팅 incentive for patrons to deposit and withdraw

    BalasHapus