3 Januari 2017

Published Januari 03, 2017 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 5

Nusa Tenggara Timur
Habis Koma masih Juga Bikin Nilai Rapor Siswa
Selain faktor nutrisi dan makanan tersebut, banyak siswa disini yang memiliki hasil belajar rendah dan jauh dari kata memuaskan. Hasil belajar yang seperti itu bukan tanpa sebab. Mereka, anak-anak sekolah yang seharusnya masih menikmati masa-masa indahnya sekolah dan bermain malah dituntut untuk ikut membantu orang tuanya bekerja di kebun. Setiap hari sepulang sekolah, orang tua tidak pernah menanyakan bagaimana hasil belajar di sekolah tadi atau menyuruh mereka belajar ulang di rumah. Orang tua mereka malah menyuruh anak tesebut pergi ke kebun dari pulang sekolah sampai jam 6 sore untuk membantu orang tua mereka kerja kebun setiap hari. Malam hari nya juga orang tua tidak menyuruh anak belajar, anak tersebut sudah lelah dengan aktivitas siang hari. Mereka bahkan sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di sekolah serta ada yang tidak berangkat ke sekolah karena harus ikut orang tuanya ke kebun.

Kegiatan pembelajaran di sekolah masih terpaku dengan proses belajar mengajar di kelas. Hari senin pagi, yang biasanya digunakan untuk melaksanakan upacara bendera namun saya tidak pernah melihat proses tersebut terlaksana. Ketika saya bertanya ke kepala sekolah dan guru lainnya, mereka menjawab, “Kita tidak ada tiang dan lapangan untuk upacara ibu”. Maka, sayapun berinisiatif untuk membuat tiang dari bambu dan menancapkannya di lapangan yang memang relatif kecil. Sepulang sekolah, saya meminta siswa laki-laki kelas IX untuk membantu mengambil bambu di hutan. Dengan senang hati, mereka mau melaksanakan permintaan saya tersebut. Mereka memiliki semangat yang luar biasa. Besoknya, saya bertanya kepada siswa tersebut, “Anak-anak, apakah kalian mau melaksanakan upacara bendera senin depan?” serempak mereka semua menjawab, “mau, Ibu!”.  Mereka sangat senang ketika saya katakan nanti sepulang sekolah kita akan melaksanakan latihan upacara bendera. Mereka antusias dengan pemilihan siapa yang akan ikut dalam pelaksana upacara bendera nantinya. Hingga senin itu (13/10) tahun 2014, terlaksanalah upacara bendera untuk semester ini. Walaupun sederhana dengan lapangan yang kecil dan peralatan seadanya, terlihat simpul wajkan ah bahagia pada siswa-siswa tersebut. Mereka mendapat pengalaman baru dari proses ini, dan saya sangat senang melihat rekasi mereka.

Musim kering tahun ini agak lama dibandingkan tahun sebelumnya. Sudah bulan november, namun hujan tidak juga datang menghampiri. Sekolah sudah diselimuti oleh kabut yang berdebu. Bahkan ketika kita berjalan, maka celana kita akan dipenuhi oleh debu-debu akibat penginjakan kaki kita di atas tanah. Air juga semakin sulit didapatkan, sehingga saya harus berjalan sejauh 2 km demi mendapatkan 1 atau 2 jerigen air. Jika jalan yang harus dilalui tersebut datar, maka saya mungkin akan sedikit bernapas lega. Namun, berbeda dengan saat ini dimana saya hrus berjalan mendaki. Air tersebut hanya bisa digunakan untuk keperluan memasak dan berwudhu. Untuk mandi dan mencuci baju saya harus pergi ke kali yang berada di desa tetangga yaitu di mbani. Perjalanan ini membuat saya lelah, namun saya harus tetap bersemangat agar baju-baju tersebut bisa bersih. Hingga hari itu (Minggu, 30/11) saya merasakan tubuh ini sudah letih sekali. Saya balik dari mbani, dan malamnya saya merasakan panas pada sekujur tubuh. Saya terus menggigil hingga paginya tidak mampu bangun lagi dari tempat tidur. Paginya saya tidak pergi ke sekolah karena untuk duduk saja saya sudah tidak sanggup. Anak-anak melihat saya ke dalam kamar setelah pulang sekolah. Saya meminta satu orang anak untuk menemani saya di kamar, agar nanti jika saya butuh apa-apa dia bisa membantu saya. 3 hari berlalu, namun sakit saya tidak juga reda. Sebenarnya saya ingin sekali pergi ke kota dan berobat, karena disini tidak ada bidan ataupun mantri. Namun, apalah daya, tidak ada oto yang bisa membawa saya ke kota. Oto hanya ada hari kamis sedangkan saya sakit sudah semenjak hari minggu. Saya ingin sekali mengabari teman-teman lain yang di ende, namun HP saya juga sudah tidak bisa menyala karen akehabisan baterai. Sinyalpun juga tidak ada di tempat saya mengajar. Saat sakit dan terbaring lemah seperti ini, saya hanya memikirkan satu hal yaitu “Ibu”. Andaikan ia disini, saya pasti sudah menangis di pangkuannya. Hal itu hanya bisa saya wujudkan lewat do’a dalam batin saya.
Kamis pagi itu, saya bersiap-siap untuk berangkat ke kota. Sebenarnya tubuh ini tidak sanggup dibawa berdiri, bahkan untuk mengganti pakaian saja, saya membutuhkan waktu selama 1 jam. Tangan ini tak sanggup lagi diangkat untuk membuka baju. Saya tidka mungkin minta tolong kepada siswa saya untuk menggantikan pakaian saya. Sekuat tenaga saya berusaha hingga akhirnya jam 4 pagi bunyi oto pun mulai terdengar. Dengan bantuan siswa, saya berjalan tertatih, mereka membawakan barang saya. Saya dipersilahkan duudk di depan karen adalam kondisi sakit. Biasanya yang boleh duduk di depan dekat supir itu hanyalah ibu hamil ataupun orang yang sudah sangat tua. Betapa malangnya nasib saya, ketika mau menuju ke kota, oto juga tidka bisa mendaki. Semua penumpang turun dan mulai menarik oto. Biasanya jika saya tidak sakit, saya akan turut menarik oto bersama penumpang lainnya. Oto ditarik menggunakan tali yang cukup besar. Ban oto terbenam sehingga tidak mampu lagi keluar. Satu jam lamanya kami menunggu baru lah oto bisa beranjak dari tempatnya. Perjalanan pun dilanjutkan dan saya sampai di kota jam 11 pagi. Sesampai di kota saya langsung dibawa ke rumah sakit oleh bapak angkat saya di ende. Saya sudah tidak sadar dan tidak tau siapa saja yang membawa saya ke rumah sakit. Saya langsung diopname dna dinyatakan menderita malaria falciparum stadium III. Dokter berkata untung saya dibawa cepat ke rumah sakit, jika terlambat sedikit lagi maka bisa saja nanti saya akan “koma”.


    email this

0 komentar:

Posting Komentar