Habis Koma masih Juga Bikin Nilai Rapor Siswa |
Kegiatan pembelajaran di sekolah masih terpaku dengan
proses belajar mengajar di kelas. Hari senin pagi, yang biasanya digunakan
untuk melaksanakan upacara bendera namun saya tidak pernah melihat proses
tersebut terlaksana. Ketika saya bertanya ke kepala sekolah dan guru lainnya,
mereka menjawab, “Kita tidak ada tiang dan lapangan untuk upacara ibu”. Maka,
sayapun berinisiatif untuk membuat tiang dari bambu dan menancapkannya di
lapangan yang memang relatif kecil. Sepulang sekolah, saya meminta siswa
laki-laki kelas IX untuk membantu mengambil bambu di hutan. Dengan senang hati,
mereka mau melaksanakan permintaan saya tersebut. Mereka memiliki semangat yang
luar biasa. Besoknya, saya bertanya kepada siswa tersebut, “Anak-anak, apakah
kalian mau melaksanakan upacara bendera senin depan?” serempak mereka semua
menjawab, “mau, Ibu!”. Mereka sangat
senang ketika saya katakan nanti sepulang sekolah kita akan melaksanakan
latihan upacara bendera. Mereka antusias dengan pemilihan siapa yang akan ikut
dalam pelaksana upacara bendera nantinya. Hingga senin itu (13/10) tahun 2014,
terlaksanalah upacara bendera untuk semester ini. Walaupun sederhana dengan
lapangan yang kecil dan peralatan seadanya, terlihat simpul wajkan ah bahagia
pada siswa-siswa tersebut. Mereka mendapat pengalaman baru dari proses ini, dan
saya sangat senang melihat rekasi mereka.
Musim kering tahun ini agak lama dibandingkan tahun
sebelumnya. Sudah bulan november, namun hujan tidak juga datang menghampiri.
Sekolah sudah diselimuti oleh kabut yang berdebu. Bahkan ketika kita berjalan,
maka celana kita akan dipenuhi oleh debu-debu akibat penginjakan kaki kita di
atas tanah. Air juga semakin sulit didapatkan, sehingga saya harus berjalan
sejauh 2 km demi mendapatkan 1 atau 2 jerigen air. Jika jalan yang harus
dilalui tersebut datar, maka saya mungkin akan sedikit bernapas lega. Namun,
berbeda dengan saat ini dimana saya hrus berjalan mendaki. Air tersebut hanya
bisa digunakan untuk keperluan memasak dan berwudhu. Untuk mandi dan mencuci
baju saya harus pergi ke kali yang berada di desa tetangga yaitu di mbani.
Perjalanan ini membuat saya lelah, namun saya harus tetap bersemangat agar
baju-baju tersebut bisa bersih. Hingga hari itu (Minggu, 30/11) saya merasakan
tubuh ini sudah letih sekali. Saya balik dari mbani, dan malamnya saya
merasakan panas pada sekujur tubuh. Saya terus menggigil hingga paginya tidak
mampu bangun lagi dari tempat tidur. Paginya saya tidak pergi ke sekolah karena
untuk duduk saja saya sudah tidak sanggup. Anak-anak melihat saya ke dalam
kamar setelah pulang sekolah. Saya meminta satu orang anak untuk menemani saya
di kamar, agar nanti jika saya butuh apa-apa dia bisa membantu saya. 3 hari
berlalu, namun sakit saya tidak juga reda. Sebenarnya saya ingin sekali pergi
ke kota dan berobat, karena disini tidak ada bidan ataupun mantri. Namun,
apalah daya, tidak ada oto yang bisa membawa saya ke kota. Oto hanya ada hari
kamis sedangkan saya sakit sudah semenjak hari minggu. Saya ingin sekali
mengabari teman-teman lain yang di ende, namun HP saya juga sudah tidak bisa
menyala karen akehabisan baterai. Sinyalpun juga tidak ada di tempat saya
mengajar. Saat sakit dan terbaring lemah seperti ini, saya hanya memikirkan
satu hal yaitu “Ibu”. Andaikan ia disini, saya pasti sudah menangis di
pangkuannya. Hal itu hanya bisa saya wujudkan lewat do’a dalam batin saya.
Kamis pagi itu, saya bersiap-siap untuk berangkat ke
kota. Sebenarnya tubuh ini tidak sanggup dibawa berdiri, bahkan untuk mengganti
pakaian saja, saya membutuhkan waktu selama 1 jam. Tangan ini tak sanggup lagi
diangkat untuk membuka baju. Saya tidka mungkin minta tolong kepada siswa saya
untuk menggantikan pakaian saya. Sekuat tenaga saya berusaha hingga akhirnya
jam 4 pagi bunyi oto pun mulai terdengar. Dengan bantuan siswa, saya berjalan
tertatih, mereka membawakan barang saya. Saya dipersilahkan duudk di depan
karen adalam kondisi sakit. Biasanya yang boleh duduk di depan dekat supir itu
hanyalah ibu hamil ataupun orang yang sudah sangat tua. Betapa malangnya nasib
saya, ketika mau menuju ke kota, oto juga tidka bisa mendaki. Semua penumpang
turun dan mulai menarik oto. Biasanya jika saya tidak sakit, saya akan turut
menarik oto bersama penumpang lainnya. Oto ditarik menggunakan tali yang cukup
besar. Ban oto terbenam sehingga tidak mampu lagi keluar. Satu jam lamanya kami
menunggu baru lah oto bisa beranjak dari tempatnya. Perjalanan pun dilanjutkan
dan saya sampai di kota jam 11 pagi. Sesampai di kota saya langsung dibawa ke
rumah sakit oleh bapak angkat saya di ende. Saya sudah tidak sadar dan tidak
tau siapa saja yang membawa saya ke rumah sakit. Saya langsung diopname dna
dinyatakan menderita malaria falciparum stadium III. Dokter berkata untung saya
dibawa cepat ke rumah sakit, jika terlambat sedikit lagi maka bisa saja nanti
saya akan “koma”.
0 komentar:
Posting Komentar