Sekolah ini masih jauh dari kata sempurna untuk dijadikan
tempat yang layak menimba ilmu pengetahuan. Kenapa? Kondisi
beberapa kelas ada yang masih beralaskan tanah. Dinding-dinding kelas
kosong tidak ditempeli satu atribut pun. Bahkan foto presiden dan wakil
presiden tidak terlihat menghiasi ruangan kelas tersebut. Sekolah ini memiliki
satu ruangan majelis guru yang disana sudah termasuk kedalam ruangan tata
usaha, wakil kepala sekolah dan bendahara sekolah. Satu ruanngan lagi disulap
menjadi ruangan perpustakaan, labor peralatan IPA dan olahraga, tempat
pertemuan dan juga di dalamnya ada ruangan kepala sekolah. Keterbatasan fasilitas dan sumber belajar ini
juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran anak. Selain dari segi tingkat
intelegensi memang mereka jauh tertinggal. Bahkan untuk kelas VII dan VIII saja,
ada beberapa anak-anak yang belumlancar membaca. Saya merasa heran, kenapa
anak-anak ini bisa naik kelas jika membaca dan menulis saja mereka belum lancar.
Saya masih ingat ketika saya menyuruh menulis beberapa kata, mereka menuliskan
kata “biologi” menjadi “belogeh” dan masih banyak kata lainnya yang tidak
sesuai dengan ejaan berbahasa Indonesia. Daya ingat anak-anak tersebut juga
sangat kurang. Ketika kita mengajar sekarang, mereka akan bilang paham, namun
beberapa menit kemudian ketika ditanya lagi mereka sudah lupa.
Saya terus bertanya-tanya kenapa siswa-siswa ini
sangat susah belajar. Mereka lebih senang disuruh bekerja, seperti goro
membersihkan sekolah, ataupun mengangkat air dan batu yang berat dibandingkan
belajar di dalam kelas. Mereka lebih senang bermain dibandingkan duduk
melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Hingga akhirnya saya
mengetahui satu hal. Saya pernah bertanya kepada salah satu anak, namanya
“Mateus”. Mateus ketika mau pergi ke sekolah makan tidak? Tanya saya kepadanya.
Spontan dia menjawab, “Makan, Ibu”. Saya bertanya lagi “Kau makan apa sebelum
pergi ke sekolah?”. Saya makan nasi ibu, jawabnya. Sayurnya apa? Tanya saya
kembali. Tidak ada sayur ibu, saya sering makan nasi saja ditambah kuah sayur
labu ibu, jawabnya. “Sayur labu?” saya berfikir untuk anak yang masih dalam
masa pertumbuhan ini, ketika mereka diberikan asupan gizi yang kurang.
Mungkinkah otaknya akan berkembang? Mungkinkah mereka bisa belajar dengan
fokus?. Ketika mereka bernagkat ke sekolah dengan jarah tempuh selama 1 sampai
2 jam berjalan kaki dan mendaki, tidak kah energi yang mereka dapatkan dari
nasi tersebut akan hilang kembali di perjalanan? Apalagi di sekolah tidak ada
jajanan apapun seperti sekolah-sekolah di kota. Tidak ada yang berjualan,
mereka pun tidak membawa bekal untuk makan siang. Padahal jam pembelajran di
sekolah selesai jam 13.20. Tidakkah mereka lapar?
Saya juga sempat melihat warga yang rumahnya di
sekitar sekolah memasak sayur. Mereka hanya memasak sayur labu dengan
bumbu-bumbu seadanya. Untuk memasak sayur mereka hanya menggunakan satu siung
bawang merah dan bawang putih. Setelah ditambah air, saya melihat mereka
memasukkan satu bungkus penyedap rasa seperti “sasa” dan “royco” ke sayur
tersebut. Saya terpelongo melihatnya, kemudian saya bertanya “Mama, Kenapa
memasukkan sasa banyak sekali ke dalam sayur”. Ia menjawab “Iya ibu guru, biar
enak sedikit toh”. “Tapi mama, kan tidak baik memakan makanan yang terlalu
banyak penyedap rasa mama”
Tambah
saya. Tidak apa-apa bu guru, kami sudah biasa kok” timpal mama tersebut. Saya
membayangkan ketika makanan tersebut juga dimakan oleh anak keci yang masih
balita, bukankah itu akan benar-benar melemahkan daya ingatnya. Penyedap rasa
mematikan sel-sel saraf yang berada di otak pada umumnya. Bagaimana mungkin
kita akan menuntut lebih terhadap anak-anak ini, jika nutrisi tubuhnya saja
tidak terpenuhi malah bertambah parah dengan penyedap tadi. Mungkin itulah
sebabnya, walaupun mereka hanya makan kuah sayur dengan bumbu seadanya, tapi
itu terasa sangat lezat dengan bumbu buatan tadi. Saya terus berusaha
memberikan pengertian kepada warga disekitar bahwa bumbu buatan tersebut tidak
baik jika dikonsumsi berlebihan dan terus menerus. Alhammdulillah ada beberapa
warga yang mendengarkan dan mulai berhenti menggunakannya. Saya menyarankan
untuk memakai bumbu alami saja. Makanan tersebut akan tetap terasa enak tanpa
penyedap rasa buatan tersebut.
Wologai
memiliki masyarakat 100% katolik, mereka
masih memegang erat adat yang berlaku di daerah mereka.
Daerah ini masih belum terjamah oleh kemajuan era globalisasi. Banyak acara adat yang digunakan
dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Misalnya acara adat
po’o yang diselenggarakan ketika
kita akan memulai proses menanam padi. Nuka jawa, acara adat ketika mulai
menanam jagung dan are nitu yaitu upacara adat ketika muai menanam ubi. Ketiga
acara adat ini digilirkan selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang
akan mereka tanam dan makan selama 4 bulan. Masyarakat wologai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengandalkan hasil kebun. Mereka biasa memanen hasil kebun mereka
yaitu kemiri, kopi, cokelat, cengkeh dan juga sayur serta buah-buahan. Saya sering ikut dengan warga masyarakat untuk melihat kebun mereka. Kebun
yang mereka miliki bukanlah di tanah yang datar tetapi di tempat dengan
kemiringan sekitar 40 derajat. Tidak mudah bagi saya untuk berjalanan menuruni
setiap kebun yang ada, namun berbeda dengan mereka yang memang sudah sangat
lihai berjalan tanpa getar di tanah yang miring tersebut. Mereka mempersilahkan saya memetik
sayur dan cabai hasil kebun mereka untuk dibawa pulang. Dengan hasil kebun itulah
mereka membiayai sekolah anak mereka. Sekali seminggu mereka menjual hasil kebun mereka
seperti kemiri dan kopi ke kota dan sekalian membeli bahan makanan. Mereka
hanya bisa berbelanja satu kali seminggu, karena oto hanya akan jalan pada hari
kamis dan jumat. Selain hari itu, tidak akan ada oto yang bisa membawa kita ke
kota.
0 komentar:
Posting Komentar