2 Januari 2017

Published Januari 02, 2017 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 4

Nusa Tenggara Timur


  Sekolah ini masih jauh dari kata sempurna untuk dijadikan tempat yang layak menimba ilmu pengetahuan. Kenapa? Kondisi beberapa kelas ada yang masih beralaskan tanah. Dinding-dinding kelas kosong tidak ditempeli satu atribut pun. Bahkan foto presiden dan wakil presiden tidak terlihat menghiasi ruangan kelas tersebut. Sekolah ini memiliki satu ruangan majelis guru yang disana sudah termasuk kedalam ruangan tata usaha, wakil kepala sekolah dan bendahara sekolah. Satu ruanngan lagi disulap menjadi ruangan perpustakaan, labor peralatan IPA dan olahraga, tempat pertemuan dan juga di dalamnya ada ruangan kepala sekolah. Keterbatasan fasilitas dan sumber belajar ini juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran anak. Selain dari segi tingkat intelegensi memang mereka jauh tertinggal. Bahkan untuk kelas VII dan VIII saja, ada beberapa anak-anak yang belumlancar membaca. Saya merasa heran, kenapa anak-anak ini bisa naik kelas jika membaca dan menulis saja mereka belum lancar. Saya masih ingat ketika saya menyuruh menulis beberapa kata, mereka menuliskan kata “biologi” menjadi “belogeh” dan masih banyak kata lainnya yang tidak sesuai dengan ejaan berbahasa Indonesia. Daya ingat anak-anak tersebut juga sangat kurang. Ketika kita mengajar sekarang, mereka akan bilang paham, namun beberapa menit kemudian ketika ditanya lagi mereka sudah lupa.

Saya terus bertanya-tanya kenapa siswa-siswa ini sangat susah belajar. Mereka lebih senang disuruh bekerja, seperti goro membersihkan sekolah, ataupun mengangkat air dan batu yang berat dibandingkan belajar di dalam kelas. Mereka lebih senang bermain dibandingkan duduk melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Hingga akhirnya saya mengetahui satu hal. Saya pernah bertanya kepada salah satu anak, namanya “Mateus”. Mateus ketika mau pergi ke sekolah makan tidak? Tanya saya kepadanya. Spontan dia menjawab, “Makan, Ibu”. Saya bertanya lagi “Kau makan apa sebelum pergi ke sekolah?”. Saya makan nasi ibu, jawabnya. Sayurnya apa? Tanya saya kembali. Tidak ada sayur ibu, saya sering makan nasi saja ditambah kuah sayur labu ibu, jawabnya. “Sayur labu?” saya berfikir untuk anak yang masih dalam masa pertumbuhan ini, ketika mereka diberikan asupan gizi yang kurang. Mungkinkah otaknya akan berkembang? Mungkinkah mereka bisa belajar dengan fokus?. Ketika mereka bernagkat ke sekolah dengan jarah tempuh selama 1 sampai 2 jam berjalan kaki dan mendaki, tidak kah energi yang mereka dapatkan dari nasi tersebut akan hilang kembali di perjalanan? Apalagi di sekolah tidak ada jajanan apapun seperti sekolah-sekolah di kota. Tidak ada yang berjualan, mereka pun tidak membawa bekal untuk makan siang. Padahal jam pembelajran di sekolah selesai jam 13.20. Tidakkah mereka lapar?

Saya juga sempat melihat warga yang rumahnya di sekitar sekolah memasak sayur. Mereka hanya memasak sayur labu dengan bumbu-bumbu seadanya. Untuk memasak sayur mereka hanya menggunakan satu siung bawang merah dan bawang putih. Setelah ditambah air, saya melihat mereka memasukkan satu bungkus penyedap rasa seperti “sasa” dan “royco” ke sayur tersebut. Saya terpelongo melihatnya, kemudian saya bertanya “Mama, Kenapa memasukkan sasa banyak sekali ke dalam sayur”. Ia menjawab “Iya ibu guru, biar enak sedikit toh”. “Tapi mama, kan tidak baik memakan makanan yang terlalu banyak penyedap rasa mama”
Tambah saya. Tidak apa-apa bu guru, kami sudah biasa kok” timpal mama tersebut. Saya membayangkan ketika makanan tersebut juga dimakan oleh anak keci yang masih balita, bukankah itu akan benar-benar melemahkan daya ingatnya. Penyedap rasa mematikan sel-sel saraf yang berada di otak pada umumnya. Bagaimana mungkin kita akan menuntut lebih terhadap anak-anak ini, jika nutrisi tubuhnya saja tidak terpenuhi malah bertambah parah dengan penyedap tadi. Mungkin itulah sebabnya, walaupun mereka hanya makan kuah sayur dengan bumbu seadanya, tapi itu terasa sangat lezat dengan bumbu buatan tadi. Saya terus berusaha memberikan pengertian kepada warga disekitar bahwa bumbu buatan tersebut tidak baik jika dikonsumsi berlebihan dan terus menerus. Alhammdulillah ada beberapa warga yang mendengarkan dan mulai berhenti menggunakannya. Saya menyarankan untuk memakai bumbu alami saja. Makanan tersebut akan tetap terasa enak tanpa penyedap rasa buatan tersebut.
Wologai memiliki masyarakat 100% katolik, mereka masih memegang erat adat yang berlaku di daerah mereka. Daerah ini masih belum terjamah oleh kemajuan era globalisasi. Banyak acara adat yang digunakan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Misalnya acara adat
po’o yang diselenggarakan ketika kita akan memulai proses menanam padi. Nuka jawa, acara adat ketika mulai menanam jagung dan are nitu yaitu upacara adat ketika muai menanam ubi. Ketiga acara adat ini digilirkan selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang akan mereka tanam dan makan selama 4 bulan. Masyarakat wologai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengandalkan hasil kebun. Mereka biasa memanen hasil kebun mereka yaitu kemiri, kopi, cokelat, cengkeh dan juga sayur serta buah-buahan. Saya sering ikut dengan warga masyarakat untuk melihat kebun mereka. Kebun yang mereka miliki bukanlah di tanah yang datar tetapi di tempat dengan kemiringan sekitar 40 derajat. Tidak mudah bagi saya untuk berjalanan menuruni setiap kebun yang ada, namun berbeda dengan mereka yang memang sudah sangat lihai berjalan tanpa getar di tanah yang miring tersebut. Mereka mempersilahkan saya memetik sayur dan cabai hasil kebun mereka untuk dibawa pulang. Dengan hasil kebun itulah mereka membiayai sekolah anak mereka. Sekali seminggu mereka menjual hasil kebun mereka seperti kemiri dan kopi ke kota dan sekalian membeli bahan makanan. Mereka hanya bisa berbelanja satu kali seminggu, karena oto hanya akan jalan pada hari kamis dan jumat. Selain hari itu, tidak akan ada oto yang bisa membawa kita ke kota.
    email this

0 komentar:

Posting Komentar