25 Januari 2017

Published Januari 25, 2017 by with 0 comment

INDAHNYA KEBERSAMAAN DI TENGAH PERBEDAAN



INDAHNYA KEBERSAMAAN DI TENGAH PERBEDAAN
28 Agustus 2014 sebanyak 25 orang SM3T Angkatan IV UNP diberangkatkan Ke Ende NTT Flores. Di Kota Ende kami dipertemukan dengan orang Tua angkat (Ibu As dan Bapak Alianis), dan di Rumah beliaulah bascamp SM3T Ende Angkatan IV. Jika pikiran kalut atau suntuk serta menemui masalah di penempatan selain berbagi kepada teman-teman kepada beliaulah tempat kami mengadu, sebulan sekali kami pulang ke basecamp untuk Rapat perencanaan kegiatan SM3T UNP Angkatan IV atau sekedar sharing tentang permasalahan yang dihadapi dipenempatan.
Setelah penyambutan SM3T Angkatan IV dan pelepasan SM3T Angkatan V di Kantor Bupati Ende, sebelum diberangkatkan ketempat penugasan kami SM3T Angkatan IV ( UNP, UNES dan UNDIKSHA ) difasilitasi Oleh Bupati Ende untuk berwisata ke Danau Tiga Warna Kelimutu, yang mana keindahannya benar-benar membuat takjub atas Ciptaan Kuasa Tuhan.
Tibalah saatnya hari keberangkatan kedaerah penempatan masing-masing, saya sendiri dijemput Oleh salah seorang Guru dari sekolah SMPN Satu Atap Mundinggasa, itulah sekolah tempat saya bertugas kurang lebih selama satu Tahun terakhir belakangan. Rasa cemas yang tidak bisa diungkapkan selama diperjalanan 6 jam dari Kota menuju daerah penempatan, kondisi jalan yang benar-benar buruk membuat wajah pucat pasi, pinggang dan punggung saya dibuat sakit akibat guncangan Truk (Oto Bis Kayu), dengan muatan Oto yang berbaur dengan ternak masyarakat (Anjing Ayam serta Babi).
Setibanya dipenempatan saya disambut oleh Kepala sekolah Agustinus Ghudae NI, S. Pd (sekarang sudah Almarhum) beserta Istri dan keluarga besarnya dirumah mereka (Rumah yang saya tempati selama satu Tahun) Desa Natanangge Kecamatan Maukaro. Belum hilang efek cemas akibat goncangan oto saya kembali dibuat shok, saya disirami air di depan pintu Rumah katanya wajib untuk pendatang baru agar terhindar dari hal-hal buruk. Suara besar, makan setinggi gunung, dan anjing berkeliaran di tempat kami makan merupakan suatu hal yang sangat baru yang saya temui, dalam Sholat saya menangis memikirkan apa yang akan terjadi di kehidupan saya seorang perempuan Singgle di tempat baru dan satu-satunya yang menganut agama Islam di lingkungan Mayoritas Katolik, dan itu adalah pengalaman dan perjalanan terjauh saya yang pertamadari lahir  hingga saya berumur 24 Tahun di waktu itu.
Dikarenakan semua warga beragama Katolik, Pemandangan melihat Babi, Anjing berkeliaran menjilati piring dan perlengkapan memasak menjadi hal biasa yang saya saksikan di sana, namun di luar hal itu itu yang saya rasakan tidak hanya keluarga Kepala Sekolah, hamper keseluruhan Masyarakat desa Natanangge menerima, menyapa ramah dan menyambut kedatangan saya dengan senang hati. Jujur saja di situlah seumur hidup saya merasakan diri saya benar-benar dianggap ada, dihargai, disegani dan boleh dibilang diperhitungkan, anak,kecil remaja sampai Tua semuanya berlaku ramah, saat acara-acara adat disekitar penempatan saya slalu mndapat undangan mengahadiri acara tersebut, seampainya disana di saat semua orang duduk ditanah, saya datang merekla sibuk menyiapkan kursi untuk tempat saya duduk. Saat saya berjalan kaki semuanya menyapa dengan ramah, itulah kebiasaan masyarakat disana yang saya rasa jauh berbeda dengan kita di Kota Padang dengan sipapun bertemu dijalan atau dimanapun mereka pasti saling tegur sapa.
Satu pengalaman yang mungkin tidak akan pernah saya lupakan di sisa hidup saya adalah sebagai wujud toleransi dan rasa menghargai mereka yang tinggi terhadap pendatang dan perbedaan agama di sana saya diminta memotong Sapi. Selain untuk acar adat, begitupun untuk acara Sekolah dan juga di saat Kepala Sekolah yang sekaligus orang yang sudah saya anggap Bapak Wafat, agar Lauk halal untuk saya makan saya telah diminta kurang lebih 4 Ekor Sapi, 1 Ekor Kambing dan Jumlah ayam yang sudah tidak terhitung saya Sembelih disana. Awalnya jangankan Kambing Ayampun tidak pernah saya yang sembelih dikarekan dalam Islam selagi ada lelaki wuslim perempuan tidak diperbolehkan untuk menyembelih Ayam, Sapi dll. Awalnya rasa takut dan khawatir pastilah sangat menghantui saya diminta memotong Sapi, tapi ya itu! rasa penasaran juga ada disaat itu, kapan lagi coba ada kesempatan seperti ini, berangkat dari rasa ingin tahuan itulah saya memberanikan diri. Setelah Sapi di Ikat lalu saya diminta menyembelih sesuai Syari’at Islam dengan disaksikan banyak mata dan didampingi seseorang menutup leher Sapi dengan daun Lontar agar saya tidak terkena Percikan darah si Sapi.
Selanjutnya tentang pengalaman di Sekolah, saya ditempatkan di SMPN  Satu Atap Mundinggasa dengan kondisi Siswa yang patuh, penurut dan benar-benar menghargai yang namanya Guru. Begitupun Guru-guru disana memperlakukan saya dengan baik dan berusaha membuat saya sebetah mungkin berada diantara mereka. Dari segi bangunan menurut saya SMPN  Satu Atap Mundinggasa sudah lumayan bagus, dengan lantai keramik disetiap ruangan, memiliki WC Guru dan Murid, dan waktu itu lagi dibangun Ruangan Perpustakaan, Labor IPA, dan penambahan Ruangan belajar. Cuman Ruangan Kepala Sekolah, wakil dan para guru belum dipisahkan dan hanya dibatasi dengan lemari sebagai sekat pemisah. Sekolah ini memiliki satu Infokus, 5 Laptop dan 2 Komputer serta 2 mesin Printer, yang memang berbeda jauh dengan fasilitas di tempat kita Kota Padang yang hamper serba berkecukupan, kembali berbicara tentang Siswa, mungkin karena Orang Tua dan guru terlalu sering memberikan hukuman dengan dipukuli kepala pake Kayu dengan ukuran yang cukup besar, digampar tidak hanya diwajah akan tetapi dipangkal telinga, mungkin didikan yang keras inilah yang mebuat daya tangkap Siswa sangat rendah. Kata-kata yang diulang dan ditekankan dalam materi pembelajaran sulit untuk mereka ingat, meski fersi pembelajan dirubah sebagaimanapun daya tangkap mereka tetap saja begitu, tidak menyimpan. Tentang kejujuran saya begitu salut, dalam Ujian mereka mengerjakan dengan Jujur, tidak ada yang menyontek apalagi meribut, begitupn alam proses pembelajaran, jika ada salah satu temannya yang membuat keributan sebelum saya menegur temannya sudah menyuruh diam. Namun hasil ujiannya membuat saya geleng-geleng kepala soal yang begitu sangat mudah cuman sekitar 3 orang yang bisa menjawab dengan betul, meski saya merubah cara mengajar tetap saja hasilnya seperti itu, Saya lihat hasil ujian aslinya ditempat guru-guru lain rupanya sama saja, dan bahkan lebih parah, semua nilai Siswa umumnya direkayasa, sebab kepala Sekolah mewajibkan seluruh Siswa nilainya harus Tuntas dan semuanya naik kelas, hal ini yang yang saya herankan tentang nilai Siswa tidak ada yang murni. Namun seiring dengan berlalunya waktu dengan Variasi dan kegigihan tekad, dengan tekad siswa memperoleh nilai yang murni, karena tidak ikhlas rasanya menuntaskan siswa yang tidak pantas Tuntas. Hingga untuk semester dua saya rasa cukup puas dengan hasilnya, lebih dari sebagian Siswa saya Tuntas dalam ulangan, Ujian Mid maupun semester. Hanya beberapa yang nilainya rendah dibawah KKM, dan itupun nilainya layak untuk saya tuntaskan dengan pemberian tugas tambahan.
Tentang kebersamaan di rumah penempatan, Disini saya diperlakukan begitu baik, Bapak dan Mama begitu menghargai Perbedaana Agama, saya dikasih kamar sendiri jadi saya leluasa untuk Sembahyang dan mengaji. Mereka memperlakukan saya seperti anaknya sendiri,hingga tiba saat Kepala sekolah selaku bapak  angkat saya Meninggal Dunia, mungkin karena kebaikannya saya juga begitu merasa kehilangan akibat kepergian beliau, bagaimanapun Jasa beliau takkan terlupakan. Semenjak kepergian Bapak AGustinus Gudhae NI, S.Pd Mama bahkan lebih memperlakukan saya seperti anaknya sendiri, begitupun juga ke- tiga anaknya sudah mengganggap saya seperti kakak mereka, saya kasihan melihat Mama menangis setiap hari di Makam Bapak, Meski saya punya kamar sendiri namun semenjak Bapak meninggal dikarenakan berapa alasan dan isu-isu yang beredar terkait hal Mistis yang dinamakan Suwanggi saya tidak berani lagi tidur sendiri di kamar, semenjak saat itu kami tidur bersama dikamar utama.
Sekian cerita singkat saya, banyak hal yang ingin diungkap tentang pengalaman dan cerita-cerita tentang kebersamaan saya dipenempatan, kebersamaan dengan sesama teman SM3T, di sini saya menemukan kisah baru, cerita baru, indahnya kebersamaan ditengah-tengah perbedaan. Intinya saya bersyukur sekali mengikuti SM3T ini, berkat program ini saya pernah dianggap sangat begitu ada. Semuanya begitu berkesan, memberikan pelajaran dan pengalaman yang cukup berharga di Hidup saya, sekian…ENDE Punya Cerita.
Read More
    email this

18 Januari 2017

Published Januari 18, 2017 by with 0 comment

Kurikulum Negeri yang Selalu berganti



Kurikulum Negeri yang Selalu berganti
Kurikulum Negeri yang Selalu berganti
Pendidikan Indonesia selalu berubah setiap pergantian kabinet di dalam pemerintahan. Untuk setiap pergantian pendidikan tersebut tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan sebuah kurikulum. Belum lagi proses pelaksaannnya yang belum merata di satu sekolah, kurikulum pun berganti lagi. Guru dan siswa mengalami kesusahan dalam berbagai hal. Salah satunya guru harus melakukan pelatihan lagi untuk memahami penerapan kurikulum yang baru. Hal ini juga berdampak pada siswa yang tidak sedikit dikorbankan dengan kurikulum yang berganti-ganti. Satu sekolah pun harus menerapakan kurikulum yang berbeda, dimana kelas X SMA menerapkan kurikulum yang baru sedangkan kelas di atasnya menerapkan kurikulum yang lama.
Perubahan kurikulum ini membutuhkan proses yang lama agar bisa teraplikasikan ke dalam segala lapisan tingkat pendidikan Indonesia. Saat satu kurikulum sedang dalam proses pengadaptasian dan belum seutuhnya bisa diterapkan kurikulum baru pun datang. Dunia pendidikan harus dihantui oleh pemerintah yang bergantis setiap beberapa tahun. Tentunya tidak sedikit biaya yang digelontorkan untuk suatu kebijakan yang mereka buat. Belum lagi jumlah mata pelajaran yang harus dikuasai oleh setiap siswa membuat mereka harus les lagi sepulang sekolah sampai malam . kehidupan mereka diisi dengan pelajaran yang sangat banyak, tetapi masih juga nilai yang mereka peroleh rendah dari standar yang ditentukan. Dan yang system tinggal kelas pun masih berlaku setelah perjuangan keras mereka.
Jika kita boleh melirik pendidikan terbaik di dunia yaitu filandia, mereka menerapkan satu kurikulum dari dulu, tidak merubah –rubah kurikulum, tidak ada system tinggal kelas, siswa yang kurang pandai mendapat perhatian ekstra. Berbeda dengan kita yang pintar semakin mendapat perhatian sedangkan yang bodoh semakin direndahkan. Finlandia juga mewajibkan gurunya minimal berstatus S2 serta gurunya lebih bersifat mentor persiswa sehingga lebih banyak siswa dibimbing oleh guru dalam pembelajaran mereka. Finlandia juga tidak menerapkan system rangking sehingga siswa merasa mempunyai kemampuan yang sama dan bisa menjadi hebat semuanya tanpa terkendala oleh siswa pintar dan sebagainya.
Read More

    email this
Published Januari 18, 2017 by with 0 comment

Dedu Flores Nusa Tenggara Timur




TERIMA KASIH DEDU
Nusa Tenggara Timur
Mungkin Tuhan telah menuliskan jalan takdir saya, salah satunya adalah takdir untuk bertemu kalian, saya sangat percaya akan hal itu dan juga sangat menikmatinya. Tetaplah berjalan anak-anakku, karena saat ini di hadapan kalian hanya ada satu jalan. Walaupun tanpa alas kaki untuk melangkah,walaupun tidak ada uang untuk melepas dahaga,walaupun yang kalian pakai hanyalah seragam bekas, walaupun kalian harus akrab dengan tamparan dan pukulan
Memang berat, tapi Bapak yakin di ujung jalan itu ada banyak jalan yang lebih baik yang dapat kalian pilih, maka berusahalah!
            Aku ditempatkan di SD Katolik Dedu, Kecamatan Ndona,kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur. Disinilah aku memulai kehidupan yang baru berbagi ilmu bersama siswa-siswa kecilku dan seluruh masyarakat Desa Dedu. Aku tinggal bersama keluarga kepala sekolah bapak Leonardus Kapa.
Bapak ingat ketika menghukum kalian untuk hormat bendera selama 20 menit karena tidak tertib selama upacara bendera. Setelah menyelesaikan hukuman, kalian menghampiri Bapak dan langsung berlutut.
“Kenapa kalian berlutut? Cepat masuk kelas!”
“Bapak tidak mau pukul atau tampar kami kah?” jawab salah satu murid.
Pertanyaan yang membuat saya membayangkan betapa kalian sangat akrab dengan lingkungan belajar yang keras selama ini.
Sabar ya, jangan patah semangat, jika kalian lebih disiplin semuanya akan selesai.
Saat menjelang Ujian Akhir Sekolah, disitu Bapak dapat melihat jelas apa itu arti semangat. Belajar malam adalah menu tambahan untuk bekal ujian kalian, padahal seharusnya itu adalah waktu kalian untuk beristirahat atau sekedar memanjakan diri dengan orang tua. Namun, kalian harus berjalan jauh kerumah Bapak untuk belajar. Bapak tahu kalian letih karena ada kebun yang selalu menunggu kalian untuk dikunjungi seusai bersekolah.
Bapak tahu kalian harus berjalan jauh ke rumah Bapak berteman dengan gelap

Jangan takut letih .... Jangan takut gelap ...... Tetaplah belajar!

Kalian harus yakin, letih itu akan terbayar suatu saat nanti. Kalian harus yakin, kalian dapat mengubah gelap itu menjadi terang suatu saat nanti. Tidak selamanya saya lebih baik dari kalian, banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan selama bersama kalian.
Saya belajar apa itu kesederhanaan
Saya belajar apa itu toleransi
Saya belajar apa itu ketulusan
Saya belajar apa itu kasih sayang
Ya, selama 1 tahun ini saya lebih membuka mata tentang hal-hal yang seharusnya sudah saya mengerti dari dulu, itu berkat kalian. Tidak ada waktu yang lebih berharga selain saat makan bersama dengan keluarga, setelah seharian memeras keringat. Memang mungkin hanya dengan nasi bercampur jagung ataupun ubi, lombok untuk menambah rasa, sayur daun paku yang kita cari di tepi sungai, dan sedikit lauk jika ada, namun semua itu cukup untuk menutup hari dengan senyum kebahagiaan.
Saya adalah kaum minoritas disini, pedatang dengan budaya yang berbeda dan kepercayaan yang berbeda. Namun, mereka sangat-sangatlah paham akan hal itu.
“Pak Guru, besok tolong bantu dekorasi gereja ya!”
“Ini sudah jam 6, Pak Guru pergi sholat dulu nanti baru balik kesini lagi bantu kami.”
“Pak Guru sudah dulu mengajarnya, siap-siap turun kota Sholat Jumat dulu.”
Orang-orang disini mengajarkan saya akan arti toleransi yang begitu besar, mereka mengesampingkan perbedaan demi sebuah persaudaraan.
Saya dapat merasakan ketulusan kalian, kalian membuat saya merasakan tempat ini adalah rumah saya juga. Semua yang kalian punya selalu kalian tawarkan saat saya berkunjung kerumah, kalian juga selalu menawarkan bantuan sesuatu yang kalian miliki.
“Bapak, besok pergi kebun ya, kita makan kelapa.”
“Bapak, sebentar sore kita petik durian.”
“Bapak, singgah rumah sebentar, kita minum kopi dulu sama makan ubi.”
“Bapak, ini ada pisang, biar Bapak bawa ke rumah e.”
Walaupun mungkin itu kecil, namun ketulusan yang kalian berikan sangatlah berharga.
Saat itu, ada kabar untuk mama agar segera mengirim uang guna membayar kuliah anaknya, padahal uang yang ia pegang belumlah cukup.
“Iya tenang saja, mama sudah ada uang untuk bayar kuliah, segera mama akan kirim, dijaga belajarnya dan kesehatannya di sana ya.”
Mama tidak mau anaknya tahu jika ia belum memiliki cukup uang, ia tidak mau membuat anaknya kecewa. Di hari tepat setelah mendengar kabar ari anaknya, mama langsung menyibukkan diri memecah kemiri. Ia sampai lupa kalau tidak ada matahari lagi di luar rumah. Pagi harinya, saya sudah melihat 1 karung penuh terisi kemiri dan 1 karung yang terisi setengahnya saja.
“Pak Guru, bisa tolong antar mama jual kemiri ke pasar?”
Saya membonceng mama dengan 2 karung kemiri yang saya taruh di bagian depan motor. Mama mendapatkan uang Rp 786.000,00 untuk 2 karung kemiri yang ia jual.
Semua uang itu langsung mama kirim kepada anaknya dengan ditambah sedikit uang yang ia punya. “Anak, mama sudah kirim uangnya,coba dicek dulu!Dijaga belajarnya dan kesehatannya di sana ya.”
Setelah memberikan kabar kepada anaknya tampaklah suatu kelegaan dalam senyuman kecil mama.
 Juga saat saya terbangun dari tidur di tengah malam dan hendak ke kamar mandi, saya melihat mama masih sibuk dengan tumbukan kopinya sambil menunggu gorengan teri di sebelahnya.
“Untuk apa Ma, sudah malam begini belum istirahat juga?”
“Hehe, ini Pak Guru, mama ada tumbuk kopi sama goreng teri untuk kirim anak di Surabaya, mereka suka sekali kopi sama teri ini.”
Entah kenapa air mata saya keluar, mungkin karena rindu, atau mungkin karena saya menjadi tahu dengan jelas perjuangan orang tua untuk membuat anaknya senang.
Kadang mereka lupa akan umur mereka yang sudah renta, mereka juga lupa akan rasa letih, mereka juga mengabaikan rasa malu, semua itu hanya demi membahagiakan anaknya.
Terima kasih telah mengajarkan saya besarnya kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Kesempatan seperti ini tidak akan bisa dibeli. Di Kampung Dedu, tempat yang begitu sederhana ini saya mengenal banyak hal, arti perjuangan, arti besar sebuah senyuman yang begitu sederhana dan arti kebersamaan bersama kalian tanpa terpaku status sosial.  Terimakasih semua, kalian telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya, dan dari kalian saya bisa belajar akan kehidupan.
Secuil kenangan bersama kalian pasti sangat sulit dilupakan, kebersamaan bersama kalianlah yang akan selalu terkenang. Disini saya pernah singgah, dan semoga saya tetap selalu ada di hati kalian.
Sampai jumpa lagi Dedu.


RIKY VORERA, S.Pd (201431113)
SM-3T UNP Angkatan IV
Dedu, Ndona, Ende, NTT


Read More
    email this

8 Januari 2017

Published Januari 08, 2017 by with 0 comment

“Permen Sejuta Rasa dari Negeri Nusa Bunga”


Testimoni Tina
            Dan ya… perkenalkan. Namaku Tina Ratih Nengsih. Lahir dan besar di Bengkulu selatan, menghabis umur setengah abadku di Kota Manna, Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. SD, SMP, SMA bahkan kuliah pun di Bengkulu di Universitas Bengkulu. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Sangat suka membaca (membaca novel, bukan buku ilmiah…hehehe) dan juga suka memasak. Awalnya kupikir tidak akan pernah meninggalkan kota tercintaku, apalagi untuk waktu yang lama. Walaupun keinginan merantau itu ada, bahkan dikatakan cukup besar. Lulus SMA aku berniat untuk merantau, tapi Ibuku tidak mengizinkan. Alhasil ya lagi-lagi Bengkulu. Walaupun sedikit kecewa, tapi aku tidak mungkin nekad pergi tanpa restu dari ibuku. Dan ketika aku lulus SM3T, bias diaktakan itu adalah jackpot besar yang aku dapatkan dari keinginan terpendamku. Doaku di ijabah. Dan semua hal yang kita ingin pasti akan datang di waktu yang tepat.
            Semua berawal dari percakapan dengan kawan lamaku. Kami sudah lama tidak bertemu. Melalui chatting di facebook ia bercerita bahwa sekarang dia di Ende, mengikuti program pemerintah mengajar siswa di sana selama satu tahun. SM-3T, Itulah nama programnya. Sebuah program yang dicanangkan pemerintah demi memeratakan pendidikan di NKRI tercinta. Dia mengisahkan jejak pengalamannya  selama mengajar di Ende, suka dan duka, tantangan, keseruan, kebersamaan, dan hal lainnya yang membuatku sangat tertarik untuk mengikuti program ini. Setelah mendengar cerita dari teman lamaku tersebut aku memantapkan hati untuk mengikuti program ini.
Dan setelah perjalanan yang cukup panjang, mulai dari mancari-cari lebih dalam tentang program ini, mengikuti beragamam tes masuk, bolak-balik Bengkulu-Padang, aku sah dinyatakan sebagai salah satu peserta SM-3T angkatan IV. Setelah 2 minggu lamanya kami mengikuti Prakondisi akhirnya kami dikirim ke penempatan kami masing-masing sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh LPTK kami. Dari enam daerah penempatan yang ada, awalnya aku memilih sanggau. Entah mengapa aku sangat tertarik untuk mengabdi di bumi Borneo. Tapi ternyata takdir menentukan aku harus mengabdi di Ende, di Bumi Nusa Bunga.
Di Ende, aku ditempatkan di salah satu sekolah yang ada di Kec. Kelimutu. Tepatnya sekolah ku berada persis di bawah lereng Danau Kelimutu. Danau yang hanya pernah aku lihat pada lembaran uang 5000 rupiah lama. Dan kini aku tinggal di sana, Moni nama daerahnya, selama satu tahun lamanya. Aku sangat bersemangat menyambut petualangan baru. Petualangan pun dimulai.
Testimoni Tina
Sekolah ku bisa dikatakan cukup bagus. Berada di pinggir jalan, jalur lalu lintas Trans Ende-Maumere. Bangunannya sudah beton, memiliki 5 ruang kelas permanen, 1 ruang kelas yang menyatukan dengan ruang labor, 1 perpustakaan, ruang Kepala Sekolah dan guru yang menyatu dan aula yang cukup luas tempat pertemuan sekolah ataupun pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang diadakan desa. Ya..dibandingkan dengan teman-teman ku yang lain, sekolahku bisa dikatakan cukup memadai baik dari segi fasilitas, tempat dan bangunannya. Hanya saja sekolahku tidak memiliki pagar dan mess siswanya sudah rusak.
Selama di Moni, aku tinggal di rumah kepala sekolahku yang lama, Ibu Badhe Sofia. Rumah tempatku tinggal cukup jauh dari sekolah, sekitar 1 km. Alhasil aku harus rela untuk berjalan kaki pergi dan pulang sekolah selama lebih kurang 20-30 menit. Awalnya cukup sulit. Mengingat selama di Bengkulu aku jarang sekali berjalan kaki sejauh itu. Karena ada motor yang biasa kugunakan, dan kalaupun motor tersebut di pakai oleh adikku, ada banyak kendaraan umum yang bisa mengantarku. Aku hanya tinggal tunjuk, pilih kendaraan mana yang mau aku naiki. Tapi tidak di sini, di moni. Tidak ada kendaraan umum seperti angkot yang berseleweran di jalan, yang ada hanya ojek, dan itu pun sangat jarang. Tapi tidak lama semuanya sudah menjadi biasa. Kegiatan itu sudah menjadi rutinitasku sehari-hari selama di moni. Lagi pula berjalan kaki itu menyehatkan bukan??? Selain itu aku bisa menyapa penduduk sekitar setiap paginya sepanjang perjalanan menuju sekolah. Mengingat rumah tempat tinggal berada di tempat yang sepi dari rumah penduduk.
Masyarakat Moni 99 % beragama katolik. Hanya beberara saja yang beragama islam. Karena pada umumnya beragama katolik, jadi tidak heran lagi kalau rata-rata masyarakatnya memilihara babi dan anjing. Ya..sebagai muslim, yang memang tidak boleh bersentuhan dengan kedua bintanag tersebut, aku sedikit terkejut, bukan karena masyarakatnya yang memilihara binatang yang diharamkan di agama ku itu, tapi lebih karena kedua bintang tersebut berkeliaran bebas di jalan-jalan sekitar perkampungan dan bahkan di rumah tempatku menumpang. Dan terkadang anjing peliharaannya pun makan di piring yang sama bekas majikannya. Dan hal ini sangat bertentangan dengan ajaran agama yang ku anut. Tapi untunglah kakak dan mama tempat ku tinggal sangat mengerti, setelah ku jelaskan bahwa memang di ajaran agama ku tidak dieprbolehkan binatang peliharaan makan di piring yang sama dengan manusia. Walaupun terkadang masih juga terjadi hal seperti itu, tapi setidaknya sudah berkurang dibandingkan pertama kali aku tinggal di situ. Dan harus bersabar ketika aku melihat anjing peliharaanya melakukan hal itu lagi.
Testimoni Tina

Di sekolah pun sama. Orang flores mempunyai kebiasaan jikalau mengadakan acara pasti diikuti dengan acara makan-makan sesudahnya. Itu sudah merupakan tradisi orang sini.  Dan jika sekolah mengadakan acara, para guru-guru pasti akan membuat makanan yang halal dan bisa di makan oleh ku. Walaupun aku satu-satunya guru yang beragama muslim di sekolah, perlakuan mereka terhadapku sama saja dengan yang lainnya. Tidak ada sama sekali ada perbedaan. Aku merasakan kenyaman berada di sekolah. Toleransi di Bumi Pancasila ini harus kuacungi jempol.
Hampir semua murid berjalan kaki ke sekolah. Hanya beberapa saja yang di antar orang tuanya menggunakan motor ke sekolah. Dan tidak sedikit dari mereka harus berjalan jauh menuju sekolah. Ada yang harus berjalan kaki selama 30 menit, 45, menit dan bahkan ada yang lebih dari satu jam. Tapi mereka tidak pernah mengeluh akan hal itu. mereka dengan senang hati dan bersemangat datang ke sekolah. Berbeda sekali dengan keadaanku tempo dulu. Aku berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum. Aku cukup hanya berdiri di depan gang komplek rumahku dan menunggu angkot lewat. Aku naik, duduk manis santai, dan jengg..jengg.. aku sudah sampai di sekolah. Tidak harus panas-panasan berkeringat demi mencapai sekolah, seperti yang di alami murid-murid ku. Dan aku bersyukur karena itu.
            Di SMPK Moni, aku mengajar dua mata pelajaran, yaitu Bahasa Inggris dan TIK. Tidak ada masalah untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, buku paket tersedia lengkap d perpustakaan. Dengan keterbatasan media yang ada, semua bisa dikondisikan. Tetapi aku agak kewalahan ketika mengajar TIK. Karena ketiadaannya komputer di sekolah. ketika mengajar aku hanya menggunakan satu-satunya notebook yang ku punya sebagai media praktek bagi muri-murid ku. Dan jujur saja, satu komputer untuk digunakan oleh murid – murid ku sangatlah kurang. Aku mengajar 4 kelas, dan masing-masing kelas terdiri dari 25 siswa, lebih dan kurang 100 siswa, dan media yang ku punya hanya satu. Alhasil aku harus memilah-milah kompetensi yang mana yang wajib di kuasi oleh murid-murid ku secara praktek, dan yang mana yang hanya cukup dengan teorinya saja. Karena tidak cukupnya waktu dan keterbatasan media. Padahal aku sudah menerapkan belajar tambahan sore hari. Tetapi tetap saja tidak mencukupi. Dan lagi-lagi aku sangat bersyukur, karena dulu aku bersekolah di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap. Tidak ada sama sekali kendala dalam hal media pembelajaran. Tetapi dengan semua keterbatasan itu hebatnya murid-murid ku sangat sabar dan tetap semangat dalam menuntut ilmu.
Kami peserta SM-3T LPTK UNP angkatan IV berjumlah 25 orang. Dan hanya aku yang berasal dari luar provinsi Sumatra Barat. Awalnya aku agak susah beradaptasi dengan teman-teman yang lain, mengingat aku tidak bisa sama sekali berbahasa padang. Tapi setelah bergaul selama satu tahun bersama mereka aku sudah pandai menggunakan bahasa padang. Seru sekali. Aku menemukan banyak saudara baru di sini.
Testimoni Tina
Di Ende kami mempunyai bapak dan ibu angkat. Setiap kali ada urusan yang mengharusakan kami ke kota Ende, kami selalu menginap di rumah bapak angkat. Jika ada libur sekolah pun kami pulang ke rumahnya. Beruntung sekali. Karena seperti orang tua sendiri. Rasa rindu dengan orangtua, kakak, adik dan keluarga di bengkulu terobati.
Dengan mengikuti SM-3T banyak pengalaman dan pembelajaran yang ku dapat. Perjuangan, penyesuaian terhadap keterbatasan, menjadikan masalah menjadi sebuah pembelajaran kesabaran. Menjalani semua keterbatasan dengan rasa syukur yang tinggi. Bukan hanya itu, aku juga menemukan keluarga baru yang hangat dan juga banyak saudara baru. Inilah kisah ku. Aku Tina Ratih Nengsih, dan aku sangat bersyukur telah di terima menjadi salah satu peserta SM-3T. Aku berterima kasih atas pengalaman yang tak terhingga, yang akan ku kenang seumur hidup. Aku berterima kasih Sekali pada Tuhan yang mengizinkan ku untuk bisa ikut di program ini. Aku Tina Ratih Nengsih, Mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada SM-3T.
Read More
    email this

4 Januari 2017

Published Januari 04, 2017 by with 0 comment

Mengabdi Penuh Bakti

testimoni
Saya mendapat penempatan di sebuah pesantren yang setingkat SMP dan SMA. Saat saya datang pertama kali ke sekolah tersebut saya dikerumini oleh siswa-siwa yang hanya memakai sarung kesekolah, tidak menggunakan sandal serta tidak jarang yang saya temui yang tidak mandi kesekolah. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan biasanya yang ada dikampung asal mengajar sebelumnya.  Siswa-siswa pesantren yang tinggal di asrama di batasi untuk berkomunikasi dengan dunia luar dimana mereka hanya boleh berkomunikasi denga surat yang terlebih dahulu diberikan terlebih dahulu kepada gurunya.
Sekolah ini dipimpin oleh seorang buya dan semu guru yang berada di wilayah ini tidak ada yang berstatus PNS. Mereka mengajar pun bermodalkan ijazah paket C. Sebenarnya sekolah ini sudah milik pemerintah, tetapi karena sekolah berada di tanah pemilik sekolah, maka buya nya tidak mau menjadikannya negeri karena nantinya tidak bisa dia kendalikan dengan tangan penuh. Sekolah paginya dijarkan dengan pelajaran agama dari pagi sampai zuhue sedangkan siangnya dari jam 2 sampai jam barulah jadwal  untuk pelajaran umum. Maka saya sendiri hanya dapat jatah mengajar fisika 2 jam setiap minggunya.  Jiwa fisika saya selama di sekoolah ini kurang tercurahkan karena jam mengajar yang sedikit, padahal saya sangat ingin berbagi ilmu yang saya pelajari selama  tahun di jenjang S1.
Ketika keinginan saya untuk membawa siswa saya lomba fiika antar sekolah atau pada tingkat yang lebih tingginya, sering bahkan selalu tidak mendapat dukungan dari kepala sekolahnya yang dipanggil buya tersebut. masih jauh pemikirannya akan perbedaan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Padahal ilmu agama dan fisika itu sendiri sejalan jika mereka mengerti dang menganalisisnya. Padahla siswa-siswa saya tersebut sangat ingin untuk mengikuti lomba lomba yang diadakan.  Selain itu perpustakaan yang ada minim dengan buku-buku ilmu yang bersifat umum, lebih banyak buku –bku agama, buku pernikahan, sehingga siswa-siswa saya merasa kehausan dengan ilmu fisika yang saya ajarkan. Hal ini menantang saya untul lebih semangat mengajarkan mereka.
Read More
    email this