4 Januari 2017

Published Januari 04, 2017 by with 1 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian Akhir



Nusa Tenggara Timur
Empat hari setelah dirawat di rumah sakit, akhirnya sayapun diperbolehkan pulang. Saya beristirahat di rumah orang tua angkat saya di kota. Kebetulan waktu itu sekolah sudah selesai melaksanakan ujian semester ganjil, sehingga saya tidak terlalu merasa terbebani ketika meninggalkan sekolah. Setelah keluar dari rumah sakit, banyak teman-teman sesama SM3T dan guru-guru di sekolah lain yang menyarankan agar saya pindah ke sekolah lain yang lebih dekat aksesnya ke kota. Mereka mengatakan penyakit malaria bisa saja tiba-tiba kambuh kembali. Bagaimana jika nanti setibanya di wologai dan situasi yang sama terulang kembali.
Saya sangat heran kepada diri saya sendiri, sebanyak itu saran yang menyuruh saya pindah, dan mereka bisa mencarikan sekolah baru yang lebih dekat serta sudah memberi tahu kepala dinas pendidikan. Namun, hati saya tetap menolak untuk pindah. Saya tahu dengan konsekuensi yang akan saya terima jika penyakit saya kambuh kembali selama di wologai. Mungkin saja akan lebih parah dari sebelumnya. Saya tahu itu. Tapi mengapa hati ini tidak mau berkompromi. Saya tetap bersikukuh untuk tetap mengabdi di puncak gunung wologai ini. Saya sudah terlalu cinta dengan siswa-siswa disana, masyarakat dan lingkungan wologai. Mereka seperti sudah menyatu dengan saya, mungkin karena itulah berat rasanya hati ini untuk berhenti di tengah jalan dan tidak membimbing mereka sampai akhir. Saya hanya bisa berdo’a kepada Allah SWT, mudah-mudahan sang khalik senantiasa melindungi dan melancarkan aktifitas saya selama bertugas di wologai.

Liburan pun berakhir dan saya kembali ke wologai pada awal januari 2015. Susasanya sudah sedikit berbeda. Hujan sudah mulai turun dan rumput-rumput yang menguning sudah mulai memunculkan warna hijaunya. Saya kembali beraktifitas seperti biasa. Setiap sore dan malam harinya saya memberikan les tambahan kepada siswa kelas IX. Mereka terlihat semangat belajar walaupun malam hari tidak ada penerangan. Kita hanya menggunakan lampu-lampu seperti senter yang dicas dengan tenaga surya. Selama 4 bulan saya menemani mereka belajar siang dan malam hari, sehingga tibalah bagi mereka semua untuk mengikuti Ujian Nasional Tahun 2015. Salah satu anak yang paling dekat dengan saya bernama “Ayu”, ia anak yang pintar dan baik. Dia selalu memperhatikan kebutuhan saya setelah saya sakit. Jika tidak ada sayur, maka ia akan mengambilkan saya sayur untuk dimasak. Begitupun dengan kebutuhan lainnya. Jika ia melihat jerigen air saya kosong maka ia kan sega pergi ke sumber air dengan membawa jerigen saya yang kosong tadi. Ayu berkata bahwa ia tidka mau lagi melihat saya sakit. Ia tidak mau kehilangan guru satu-satunya yang selalu membimbing dan memperhatikan mereka. Saya sangat terharu dengan apa yang ia katakan, sampai air mata saya tidak terbendung lagi. Saya merangkul tubuh kecil anak ni, dan merasakan kehangatan yang luar biasa. Sungguh saya telah menemukan keluarga yang baru.

Ujian Nasional pun selesai dan seluruh siswa kelas IX sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Perpisahan akan diadakan seminggu setelahnya. Perpisahan di sekolah ini diadakan malam hari dengan penerangan yang seadanya. Kenapa harus diadakan malam hari? Kenapa tidak siang hari? Ada alasan tersendiri dibalik semua itu. Dengan mengadakan acara malam hari, maka warga di sekitar sekolah juga akan mendapatkan penerangan karena genset akan dipakai untuk menyalakan lampu. Selain itu, pada siang hari orang tua siswa sibuk beraktifitas di kebun, maka akan sedikit diantara mereka nantinya yang akan mengahdiri acara perpisahan ini. Perpisahan berlangsung dengan hikmat, deraian air mata bertaburan pada wajah sayu mereka. Mereka memeluk kami gurunya satu persatu, seakan tak mampu menahan sakit di dada. Mereka menggenggam tangan ini kuat seakan tak mau terlepas. Begitulah acara tersebut berlangsung hingga akhirnya baru ditutup dengan acara hiburan yang lainnya. 

Tanpa terasa, masa pengabdian saya pun akan segera berakhir. Setelah ujian semester, sebulan kemudian saya akan kembali ke padang. Mereka mulai bertanya-tanya, “Ibu, kapan balik kepadang? Jangan balik lagi ko ibu? Tinggal disini su ibu!” itulah beberapa kata yang saya dengar dari mulut mereka. Setiap kami duduk dan bermain bersama, mereka akan selalu menanyakan tentang waktu kepulangan saya ke padang. Mereka sungguh menghitung waktu yang tersisa dengan kebersamaan kami. Begitu pula dengan saya yang rasanya sudah sangat dekat dengan wologai dan masyarakatnya. 

Begitulah wologai, tempat saya mengabdi selama satu tahun ini. Dengan segala kekurangan yang ada saya berusaha menjadikan sekolah dan anak-anak disini menjadi lebih baik. Mereka saya pikir bukanlah anak-anak yang bodoh, bukan orang tua yang mau menelantarkan sekolah anaknya. Tetapi mereka hanya terkekang dengan keterbatasan yang ada di sekitar mereka. Akses dan komunikasi yang kurang lancar dengan kota membuat mereka sedikit tertinggal. Jalan yang jelek dan transportasi yang tidak lancar juga membuat desa wologai ini sedikit kerepotan dalam mengurus semua administrasi dan keperluan ke kota.
           
Namun, di luar itu semua, saya sebagai pendatang dari sumatera barat sangat bangga dan senang berkesempatan untuk tinggal dan mengabdikan diri mendidik siswa-siswa disini. Segala kemampuan yang saya miliki dengan segala keterbatasan yang ada membuat saya terpanggil untuk mencerdaskan anak bangsa ini. Mereka yang 100 % katolik, tidak sedikitpun menyinggung dan membedakan agama saya dan mereka. Toleransi yang sangat tinggi antar umat beragama saya rasakan di desa ini. Disini, saya memiliki keluarga baru, keluarga yang akan saya kenang selalu.

                                               
THE END


Read More
    email this

3 Januari 2017

Published Januari 03, 2017 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 5

Nusa Tenggara Timur
Habis Koma masih Juga Bikin Nilai Rapor Siswa
Selain faktor nutrisi dan makanan tersebut, banyak siswa disini yang memiliki hasil belajar rendah dan jauh dari kata memuaskan. Hasil belajar yang seperti itu bukan tanpa sebab. Mereka, anak-anak sekolah yang seharusnya masih menikmati masa-masa indahnya sekolah dan bermain malah dituntut untuk ikut membantu orang tuanya bekerja di kebun. Setiap hari sepulang sekolah, orang tua tidak pernah menanyakan bagaimana hasil belajar di sekolah tadi atau menyuruh mereka belajar ulang di rumah. Orang tua mereka malah menyuruh anak tesebut pergi ke kebun dari pulang sekolah sampai jam 6 sore untuk membantu orang tua mereka kerja kebun setiap hari. Malam hari nya juga orang tua tidak menyuruh anak belajar, anak tersebut sudah lelah dengan aktivitas siang hari. Mereka bahkan sering tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di sekolah serta ada yang tidak berangkat ke sekolah karena harus ikut orang tuanya ke kebun.

Kegiatan pembelajaran di sekolah masih terpaku dengan proses belajar mengajar di kelas. Hari senin pagi, yang biasanya digunakan untuk melaksanakan upacara bendera namun saya tidak pernah melihat proses tersebut terlaksana. Ketika saya bertanya ke kepala sekolah dan guru lainnya, mereka menjawab, “Kita tidak ada tiang dan lapangan untuk upacara ibu”. Maka, sayapun berinisiatif untuk membuat tiang dari bambu dan menancapkannya di lapangan yang memang relatif kecil. Sepulang sekolah, saya meminta siswa laki-laki kelas IX untuk membantu mengambil bambu di hutan. Dengan senang hati, mereka mau melaksanakan permintaan saya tersebut. Mereka memiliki semangat yang luar biasa. Besoknya, saya bertanya kepada siswa tersebut, “Anak-anak, apakah kalian mau melaksanakan upacara bendera senin depan?” serempak mereka semua menjawab, “mau, Ibu!”.  Mereka sangat senang ketika saya katakan nanti sepulang sekolah kita akan melaksanakan latihan upacara bendera. Mereka antusias dengan pemilihan siapa yang akan ikut dalam pelaksana upacara bendera nantinya. Hingga senin itu (13/10) tahun 2014, terlaksanalah upacara bendera untuk semester ini. Walaupun sederhana dengan lapangan yang kecil dan peralatan seadanya, terlihat simpul wajkan ah bahagia pada siswa-siswa tersebut. Mereka mendapat pengalaman baru dari proses ini, dan saya sangat senang melihat rekasi mereka.

Musim kering tahun ini agak lama dibandingkan tahun sebelumnya. Sudah bulan november, namun hujan tidak juga datang menghampiri. Sekolah sudah diselimuti oleh kabut yang berdebu. Bahkan ketika kita berjalan, maka celana kita akan dipenuhi oleh debu-debu akibat penginjakan kaki kita di atas tanah. Air juga semakin sulit didapatkan, sehingga saya harus berjalan sejauh 2 km demi mendapatkan 1 atau 2 jerigen air. Jika jalan yang harus dilalui tersebut datar, maka saya mungkin akan sedikit bernapas lega. Namun, berbeda dengan saat ini dimana saya hrus berjalan mendaki. Air tersebut hanya bisa digunakan untuk keperluan memasak dan berwudhu. Untuk mandi dan mencuci baju saya harus pergi ke kali yang berada di desa tetangga yaitu di mbani. Perjalanan ini membuat saya lelah, namun saya harus tetap bersemangat agar baju-baju tersebut bisa bersih. Hingga hari itu (Minggu, 30/11) saya merasakan tubuh ini sudah letih sekali. Saya balik dari mbani, dan malamnya saya merasakan panas pada sekujur tubuh. Saya terus menggigil hingga paginya tidak mampu bangun lagi dari tempat tidur. Paginya saya tidak pergi ke sekolah karena untuk duduk saja saya sudah tidak sanggup. Anak-anak melihat saya ke dalam kamar setelah pulang sekolah. Saya meminta satu orang anak untuk menemani saya di kamar, agar nanti jika saya butuh apa-apa dia bisa membantu saya. 3 hari berlalu, namun sakit saya tidak juga reda. Sebenarnya saya ingin sekali pergi ke kota dan berobat, karena disini tidak ada bidan ataupun mantri. Namun, apalah daya, tidak ada oto yang bisa membawa saya ke kota. Oto hanya ada hari kamis sedangkan saya sakit sudah semenjak hari minggu. Saya ingin sekali mengabari teman-teman lain yang di ende, namun HP saya juga sudah tidak bisa menyala karen akehabisan baterai. Sinyalpun juga tidak ada di tempat saya mengajar. Saat sakit dan terbaring lemah seperti ini, saya hanya memikirkan satu hal yaitu “Ibu”. Andaikan ia disini, saya pasti sudah menangis di pangkuannya. Hal itu hanya bisa saya wujudkan lewat do’a dalam batin saya.
Kamis pagi itu, saya bersiap-siap untuk berangkat ke kota. Sebenarnya tubuh ini tidak sanggup dibawa berdiri, bahkan untuk mengganti pakaian saja, saya membutuhkan waktu selama 1 jam. Tangan ini tak sanggup lagi diangkat untuk membuka baju. Saya tidka mungkin minta tolong kepada siswa saya untuk menggantikan pakaian saya. Sekuat tenaga saya berusaha hingga akhirnya jam 4 pagi bunyi oto pun mulai terdengar. Dengan bantuan siswa, saya berjalan tertatih, mereka membawakan barang saya. Saya dipersilahkan duudk di depan karen adalam kondisi sakit. Biasanya yang boleh duduk di depan dekat supir itu hanyalah ibu hamil ataupun orang yang sudah sangat tua. Betapa malangnya nasib saya, ketika mau menuju ke kota, oto juga tidka bisa mendaki. Semua penumpang turun dan mulai menarik oto. Biasanya jika saya tidak sakit, saya akan turut menarik oto bersama penumpang lainnya. Oto ditarik menggunakan tali yang cukup besar. Ban oto terbenam sehingga tidak mampu lagi keluar. Satu jam lamanya kami menunggu baru lah oto bisa beranjak dari tempatnya. Perjalanan pun dilanjutkan dan saya sampai di kota jam 11 pagi. Sesampai di kota saya langsung dibawa ke rumah sakit oleh bapak angkat saya di ende. Saya sudah tidak sadar dan tidak tau siapa saja yang membawa saya ke rumah sakit. Saya langsung diopname dna dinyatakan menderita malaria falciparum stadium III. Dokter berkata untung saya dibawa cepat ke rumah sakit, jika terlambat sedikit lagi maka bisa saja nanti saya akan “koma”.


Read More
    email this

2 Januari 2017

Published Januari 02, 2017 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 4

Nusa Tenggara Timur


  Sekolah ini masih jauh dari kata sempurna untuk dijadikan tempat yang layak menimba ilmu pengetahuan. Kenapa? Kondisi beberapa kelas ada yang masih beralaskan tanah. Dinding-dinding kelas kosong tidak ditempeli satu atribut pun. Bahkan foto presiden dan wakil presiden tidak terlihat menghiasi ruangan kelas tersebut. Sekolah ini memiliki satu ruangan majelis guru yang disana sudah termasuk kedalam ruangan tata usaha, wakil kepala sekolah dan bendahara sekolah. Satu ruanngan lagi disulap menjadi ruangan perpustakaan, labor peralatan IPA dan olahraga, tempat pertemuan dan juga di dalamnya ada ruangan kepala sekolah. Keterbatasan fasilitas dan sumber belajar ini juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran anak. Selain dari segi tingkat intelegensi memang mereka jauh tertinggal. Bahkan untuk kelas VII dan VIII saja, ada beberapa anak-anak yang belumlancar membaca. Saya merasa heran, kenapa anak-anak ini bisa naik kelas jika membaca dan menulis saja mereka belum lancar. Saya masih ingat ketika saya menyuruh menulis beberapa kata, mereka menuliskan kata “biologi” menjadi “belogeh” dan masih banyak kata lainnya yang tidak sesuai dengan ejaan berbahasa Indonesia. Daya ingat anak-anak tersebut juga sangat kurang. Ketika kita mengajar sekarang, mereka akan bilang paham, namun beberapa menit kemudian ketika ditanya lagi mereka sudah lupa.

Saya terus bertanya-tanya kenapa siswa-siswa ini sangat susah belajar. Mereka lebih senang disuruh bekerja, seperti goro membersihkan sekolah, ataupun mengangkat air dan batu yang berat dibandingkan belajar di dalam kelas. Mereka lebih senang bermain dibandingkan duduk melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Hingga akhirnya saya mengetahui satu hal. Saya pernah bertanya kepada salah satu anak, namanya “Mateus”. Mateus ketika mau pergi ke sekolah makan tidak? Tanya saya kepadanya. Spontan dia menjawab, “Makan, Ibu”. Saya bertanya lagi “Kau makan apa sebelum pergi ke sekolah?”. Saya makan nasi ibu, jawabnya. Sayurnya apa? Tanya saya kembali. Tidak ada sayur ibu, saya sering makan nasi saja ditambah kuah sayur labu ibu, jawabnya. “Sayur labu?” saya berfikir untuk anak yang masih dalam masa pertumbuhan ini, ketika mereka diberikan asupan gizi yang kurang. Mungkinkah otaknya akan berkembang? Mungkinkah mereka bisa belajar dengan fokus?. Ketika mereka bernagkat ke sekolah dengan jarah tempuh selama 1 sampai 2 jam berjalan kaki dan mendaki, tidak kah energi yang mereka dapatkan dari nasi tersebut akan hilang kembali di perjalanan? Apalagi di sekolah tidak ada jajanan apapun seperti sekolah-sekolah di kota. Tidak ada yang berjualan, mereka pun tidak membawa bekal untuk makan siang. Padahal jam pembelajran di sekolah selesai jam 13.20. Tidakkah mereka lapar?

Saya juga sempat melihat warga yang rumahnya di sekitar sekolah memasak sayur. Mereka hanya memasak sayur labu dengan bumbu-bumbu seadanya. Untuk memasak sayur mereka hanya menggunakan satu siung bawang merah dan bawang putih. Setelah ditambah air, saya melihat mereka memasukkan satu bungkus penyedap rasa seperti “sasa” dan “royco” ke sayur tersebut. Saya terpelongo melihatnya, kemudian saya bertanya “Mama, Kenapa memasukkan sasa banyak sekali ke dalam sayur”. Ia menjawab “Iya ibu guru, biar enak sedikit toh”. “Tapi mama, kan tidak baik memakan makanan yang terlalu banyak penyedap rasa mama”
Tambah saya. Tidak apa-apa bu guru, kami sudah biasa kok” timpal mama tersebut. Saya membayangkan ketika makanan tersebut juga dimakan oleh anak keci yang masih balita, bukankah itu akan benar-benar melemahkan daya ingatnya. Penyedap rasa mematikan sel-sel saraf yang berada di otak pada umumnya. Bagaimana mungkin kita akan menuntut lebih terhadap anak-anak ini, jika nutrisi tubuhnya saja tidak terpenuhi malah bertambah parah dengan penyedap tadi. Mungkin itulah sebabnya, walaupun mereka hanya makan kuah sayur dengan bumbu seadanya, tapi itu terasa sangat lezat dengan bumbu buatan tadi. Saya terus berusaha memberikan pengertian kepada warga disekitar bahwa bumbu buatan tersebut tidak baik jika dikonsumsi berlebihan dan terus menerus. Alhammdulillah ada beberapa warga yang mendengarkan dan mulai berhenti menggunakannya. Saya menyarankan untuk memakai bumbu alami saja. Makanan tersebut akan tetap terasa enak tanpa penyedap rasa buatan tersebut.
Wologai memiliki masyarakat 100% katolik, mereka masih memegang erat adat yang berlaku di daerah mereka. Daerah ini masih belum terjamah oleh kemajuan era globalisasi. Banyak acara adat yang digunakan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Misalnya acara adat
po’o yang diselenggarakan ketika kita akan memulai proses menanam padi. Nuka jawa, acara adat ketika mulai menanam jagung dan are nitu yaitu upacara adat ketika muai menanam ubi. Ketiga acara adat ini digilirkan selama satu tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang akan mereka tanam dan makan selama 4 bulan. Masyarakat wologai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan mengandalkan hasil kebun. Mereka biasa memanen hasil kebun mereka yaitu kemiri, kopi, cokelat, cengkeh dan juga sayur serta buah-buahan. Saya sering ikut dengan warga masyarakat untuk melihat kebun mereka. Kebun yang mereka miliki bukanlah di tanah yang datar tetapi di tempat dengan kemiringan sekitar 40 derajat. Tidak mudah bagi saya untuk berjalanan menuruni setiap kebun yang ada, namun berbeda dengan mereka yang memang sudah sangat lihai berjalan tanpa getar di tanah yang miring tersebut. Mereka mempersilahkan saya memetik sayur dan cabai hasil kebun mereka untuk dibawa pulang. Dengan hasil kebun itulah mereka membiayai sekolah anak mereka. Sekali seminggu mereka menjual hasil kebun mereka seperti kemiri dan kopi ke kota dan sekalian membeli bahan makanan. Mereka hanya bisa berbelanja satu kali seminggu, karena oto hanya akan jalan pada hari kamis dan jumat. Selain hari itu, tidak akan ada oto yang bisa membawa kita ke kota.
Read More
    email this

1 Januari 2017

Published Januari 01, 2017 by with 0 comment

Di Negeri Mutiara Hitam Berwawasan Kebangsaan



Mutiara Hitam
Kami tidak pernah membayangkan akan menginjakan kaki di tanah papua. Saat pertama kali datang di negeri mutiara hitam ini kami disambut oleh keterbukaan, alam yang terbuka sampai orang-orangnya yang juga terbuka. Salah satu teman saya meminta izin untuk berfoto  dengan salah satu bapak yang menggunakan koteka. Ternyata setelah difoto , bapak tersebut meminta kami untuk membayar nya masing masing sepuluh ribu. Jadilah kami membayar 50 ribuan untuk semuanya. Setelah kejadian tersebut, dosen kami menasehati kami untuk tidak sembarangan berfoto dengan penduduk setempat serta diwanti wanti untuk tidak keluruyan dan keluar malam-malam.
Tenyata hal-hal yang kami takutkan sebeelumnya berbeda dengan penyambutan yang diberikan oleh bapak buapati setempat keesokan harinya. Mereka menyambut kami dengan rasa kekeluargaan yang tinggi , ramah ramah dan baik. Kami beremapat dapat tempat pengabdian di sebuah SD dan semuanya perempuan. Saat awal kedatang disekolah tersebut kami tidak menemukan tiang bendera sehingga kami dengan susah payah membuat tiang bendera untuk kelangsungan upacara yang ada setiap hari seninnya. Nah, salah stu lelaki yang krang waras datang setiap hari ke seklah tempat kami mengajar, dia senang mengunjungi kami dan mengangap kami sebagai pramugrai. Saya sendiri merasa seperti primadona yang di elu- elukan oleh masyarakat setempat. Orang gila tadi ini sering ikt upacara bendera, bahkan settipa hari dia selalu hormat kepada bendera merah putih yang berkibar di halam sekolah SD ini. Bahkan sore pun dia juga hormat ketika bendera ditirunkan dan hormat lagi saat bendera tersebut dinaikan paginya.
Story By : RPS 
Read More
    email this
Published Januari 01, 2017 by with 0 comment

“PERIH YANG MENYENANGKAN” Tuti Respati, S.Pd. (Pendidikan Biologi) // Bagian 3

Nusa Tenggara Timur


Malam hari pertama saya tidur di wologai, dingginnya udara malam merasuk sampai ke sum-sum tulang. Bahkan saya tidak bisa terlelap sedikitpun. Sepanjang malam saya terjaga karena angin malam yang terlalu dingin masuk ke kamar karena keadaan kamar yang sudah bolong-bolong tersebut. suara-suara anjing saling berganti menggonggong di malam hari, tambah membuat saya tidak bisa tidur. Saya benar-benar merasa takut, ditambah lagi penerangan tidak ada, saya nyalakan lilin namun terus mati apinya karena ditiup angin. Hingga sampai esok paginya saya bangun. Sekitar jam 5 saya bangun dan saya hendak mandi. Walaupun pagi hari sangatlah dingin karena daerah ini berada di puncak gunung, namun saya harus memaksakan diri untuk mandi. Kenapa? Karena kamar mandi yang ada di rumah tersebut hanya satu sedangkan yang tinggal di rumah tersebut tidak hanya saya sendiri. Ada 4 kamar di rumah tersebut. Ada 4 orang guru dan 2 orang sudah berkeluarga dengan membawa istri dan anak-anaknya ikut serta tinggal di rumah tersebut. Kamar mandi itu pun juga tidak layak lagi, pintu kamar mandi yang tidak ada dan hanya di tutup dengan seng membuat saya tidak nyaman mandi jikalau nanti terbuka sendiri. Jika saya mandi dalam kondisi dimana guru-guru yang lain masih tidur saya merasa nyaman, tanpa khawatir jika nanti ada yang ngantri ke kamar mandi juga. Saya shalat subuh dan selesai berpakaian untuk ke sekolah jam 6 , namun saya lihat di sekeliling belum ada teman guru yang bangun. Mereka masih tertidur padahal matahari sudah keluar dari persembunyiannya.  

Saya pergi ke sekolah di hari pertama dan beberapa siswa pun sudah mulai ada yang datang. Saya rang pertama yang datang ke sekolah. Saya membuka kunci pintu kantor karena tadi pak Pak Jimmi yang satu rumah dengan saya memberikan kunci agar saya bisa masuk ke kantor majelis guru. Aktifitas sekolah dimulai pukul 07.15. lonceng dibunyikan pukul 07.15 siswa-siswa berbaris di lapangan. Mereka menyebutnya apel pagi. Mereka berdoa dan bernyanyi sebelum masuk ke kelas. Namun, lagu yang mereka nyanyikan bukan lah lagu mengenai pendidikan nasional, akan tetapi itu adalah lagu sesuai agama mereka yaitu katolik. Lagu pertama yang saya dengar itu berjudul “Bunda Maria”.

Siswa-siswa yang sekolah di SMPN Satap Wologai ini tidak hanya berasal dari desa wologai, namun juga datang dari desa tetangga, seperti boafeo, gego, wololaja, mbani, kanakera, boro, dan mbotutanda. Desa-desa ini memiliki jarak yang sangat jauh dengan wologai. Perjalanan mereka ke sekolah bisa mencapai waktu selama 1 sampai 2 jam. Maka mereka harus berangkat dari rumah sekitar jam 5 pagi. Namun, saya perhatikan, jarak yang sangat jauh tersebut tidak mengurangi sedikitpun keinginan mereka untuk datang ke sekolah. Kalau dari segi fisik, memang siswa disini banyak yang sudah melebihi layaknya seorang siswa SMP. Mereka memiliki badan yang cukup besar. Setelah saya ketehui ternyata ada yang umurnya Cuma 3 tahun di bawah umur saya. Beberapa diantara mereka ada yang telah berumur 19-22 tahun. Umur yang seharusnya mereka sudah berada di bangku perguruan tinggi. Ya, begitulah wologai, dengan lingkungan yang terbatas membuat mereka susah untuk sekolah dan melanjutkan pendidikan. Namun, saya sangat salut dengan perjuangan mereka datang ke sekolah untuk mendapatkan butir-butir ilmu pengetahuan. Setelah mereka selesai berdoa, pak jimmi yang memimpin apel pagi kali ini memperkenalkan saya kepada siswa. Memang dari tadi mereka terus melihat ke arah saya, mungkin karena melihat ada wajah baru di sekolah. Perkenalan singkatpun selesai dan seluruh anak-anak disiapkan untuk masuk ke dalam kelas masing-masing.

Saya ditugaskan untuk mengajar IPA di kelas VIII yang merupakan bidang jurusan saya. Selain itu saya juga ditugaskan mengajar matematika di kelas VII dan untuk satu semester saya juga dibebankan mengajar bahasa inggris di kelas IX. Ya, saya mengajar 3 mata pelajaran. Kenapa? Sekolah ini memang memiliki guru yang cukup. Namun, guru yang sudah PNS, itu baru satu orang yaitu kepala sekolah. Wakil kepala sekolah dan guru-guru lainnya itu masih merupakan guru honor yang terkadang digaji sekali 3 bulan. Hal ini membuat guru tersebut terkadang malas untuk berangkat ke sekolah. Mereka lebih memilih mengurus kebun jika musim panen sudah datang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Ya, bisa dikatakan dalam satu hari guru yang ada di sekolah itu Cuma 3 sampai 4 orang dari 11 orang guru yang terdaftar. Bahkan yang datang tepat waktu itu sangat jarang. Kebanyakan guru akan datang jam 8 bahakn jam 9 baru mereka hadir di sekolah. Sehingga banyak kelas yang gurunya belum hadir di pagi hari.

Beberapa siswa di sekolah belum bisa menggunakan Bahasa Indonesia, mereka lebih cendrung berbahasa daerah ketika belajar di sekolah. Hal ini membuat saya sedikit kewalahan pada awalnya. Saya harus cepat belajar menggunakan bahasa ende agar interaksi saya dengan siswa berjalan dengan lancar. Siswa tersebut juga turut membantu saya dalam belajar bahasa daerah mereka, mereka berebutan memberi tahu saya ketika jam istirahat sekolah, kata-kata yang sering mereka ucapkan sehari-hari, kemudian saya mencatatnya kedalam buku. Buku itu saya beri nama “Kamus Bahasa Ende”. Begitulah setiap harinya saya beraktivitas di sekolah yang di mulai dari jam 6 pagi. Hampir setiap hari saya membuka pintu sekolah dan memimpin apel pagi.

Read More
    email this